Sabtu, 06 September 2008

Presiden Bentuk Tim Renegosiasi

Berpotensi Timbulkan Kerugian Rp 75 Triliun
KOMPAS/ALIF ICHWAN / Kompas Images
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (28/8). Sidang yang dihadiri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu tersebut membahas masalah ketahanan pangan dan energi serta pendidikan.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera membentuk tim yang kuat untuk melakukan renegosiasi harga jual gas alam Kontrak LNG Tangguh ke China. Tim ini akan dipimpin Menko Perekonomian yang dijabat oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Adapun Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla akan disertakan sebagai pengawas tim. Anggota tim lainnya terdiri atas pejabat departemen teknis.

Instruksi Presiden itu disampaikan saat mengawali Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Kamis (28/8) di Jakarta.

”Wapres akan menjadi supervisi atas jalannya kerja tim untuk membikin sasaran harga yang realistis dan melakukan benchmarking,” ujar Presiden.

Menurut Presiden, anggota tim yang dipilih jangan sampai memiliki konflik kepentingan dan sanggup bekerja sesuai sistem dan aturan. ”Jangan mengangkat orang di luar sistem,” tutur Presiden.

Presiden menambahkan, bila tim ini berhasil merenegosiasi dan pemerintah telah mengambil keputusan, sebagai Presiden, dirinya akan mengambil alih semua tanggung jawab. ”Khususnya jika ada masalah dari kebijakan atau substansi kontrak. Jadi, jangan ada keragu-raguan untuk memulai renegosiasi,” kata Presiden.

Lebih jauh, Presiden menambahkan, keputusan pemerintah melakukan renegosiasi harga jual gas alam Kontrak LNG Tangguh ke China diambil setelah pemerintah mendapat laporan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 14 Juni lalu.

Ketua BPK Anwar Nasution membenarkan adanya surat BPK yang meminta pemerintah mengoreksi kembali harga jual gas yang disepakati dalam Kontrak LNG Tangguh. Pasalnya, pemerintah akan menanggung rugi dalam kontrak penjualan yang ditandatangani pada 2002 itu.

Seperdelapan harga

Wapres Kalla yang diminta memberikan penjelasan setelah bertemu Wapres China XI Jinping di Beijing, China, pekan lalu, menyatakan bahwa kontrak penjualan gas yang dilakukan pada era Presiden Megawati Soekarnoputri itu dapat menimbulkan potensi kerugian negara hingga sebesar Rp 75 triliun.

”Dengan harga jual gas Tangguh hanya seperdelapan dari harga jual yang seharusnya pada harga sekarang ini, negara akan dirugikan sekitar 3 miliar dollar AS setahun. Kita kehilangan kesempatan pendapatan 3 miliar dollar AS setahun dan, kalau dikalikan 25 tahun, akan menjadi sekitar Rp 75 triliun,” papar Wapres.

Adapun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menegaskan, tidak ada yang salah dari Kontrak LNG Tangguh yang dilakukannya pada waktu itu. Pasalnya, kesepakatan harga ekspor gas Lapangan Tangguh ke China yang dinilai sangat murah sebenarnya sesuai dengan biaya eksplorasi lapangannya.

”Tangguh itu waktu diputuskan biayanya juga murah. Bayangkan saja, British Petroleum berani berinvestasi Rp 55 triliun. Kalau itu proyek rugi, mana mereka mau,” ujar Purnomo.

Sesuai harga minyak

Purnomo juga menambahkan, kesepakatan harga jual gas sebesar 3,8 dollar AS per MMBTU itu sudah sesuai dengan perhitungan harga minyak dunia yang diperkirakan hanya 25 dollar AS per barrel pada waktu itu.

”Harganya pakai formula juga. Cuma, harga minyak waktu itu berkisar antara 10 sampai 20 dollar per barrel. Jadi, hitungannya dipatok 25 dollar per barrel. Saat itu, kita tidak pernah tahu harga minyak melonjak,” katanya.

Diakui Purnomo, meski ada klausul untuk penyesuaian harga jual setelah empat tahun pengiriman gas, yang baru akan dilakukan tahun depan, Purnomo menyetujui agar pemerintah melakukan renegosiasi.

Purnomo juga menepis anggapan rendahnya harga jual gas Tangguh itu dapat merugikan negara karena kondisi waktu itu tidak bisa melihat perkembangan yang akan terjadi. ”Jadi, itu adalah dinamika perkembangan situasi. Antisipasinya pun sudah ada. Namun, kita tidak pernah dapat dari para analis bahwa harga berubah dan melonjak setinggi sekarang itu,” ujarnya. (har)

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Tak Ada Lagi Gulita di Pulau Peling

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008
Oleh Reny Sri Ayu Taslim

Saat tiba di Desa Balayon, Kecamatan Liang, Pulau Peling, Kabupaten Banggai Kepulauan, sore awal Agustus lalu, mendung menggantung di langit. Semilir angin berembus perlahan diiringi suara debur ombak. Desa Balayon memang berada di ketinggian dan di bawahnya berbatasan dengan pantai. Dari atas ketinggian, pandangan akan tertuju pada lautan lepas dan beberapa pulau di kejauhan.

Dari rumah-rumah warga, sayup-sayup terdengar suara nyanyian dari pemutar musik ataupun siaran televisi. Di bagian lain, anak-anak desa dengan riang berenang di sebuah kolam alam, tepat di dekat gerbang desa. Di ujung kolam, ada bangunan serupa gardu yang di dalamnya terdapat kincir yang terus berputar.

Kincir yang merupakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) ini sudah ada sejak 2007. Boleh dikata, keberadaan kincir ini mengubah hidup warga desa. Dari yang gelap gulita pada waktu malam, kini lebih meriah dan lebih terang karena adanya listrik.

Malam-malam warga desa kini adalah malam-malam yang lebih ramai, lebih terang. Ada pula acara nonton bareng, mulai dari siaran berita hingga hiburan.

”Dulu, begitu lepas magrib, desa ini sunyi, gelap. Pukul 20.00 sudah seperti tengah malam. Tidak ada lagi orang lalu lalang. Semua di dalam rumah,” kata Gaffar Kahar, Kepala Desa Balayon.

Bukan soal ramai tak ramai saja yang berubah sejak ada listrik di Balayon. Keberadaan listrik mengubah banyak hal, mulai dari aspek sosial, ekonomi, hingga pendidikan.

”Dulu sebelum ada listrik, suplai minyak tanah untuk Desa Balayon 240 liter per dua minggu. Setelah ada listrik, tinggal 80 liter per dua minggu, itu pun kadang tidak habis. Kalau dulu kan minyak tanah banyak dipakai untuk lampu minyak. Belum lagi bensin atau solar untuk genset,” kata Gaffar.

Lain lagi cerita Sudiro (56), warga desa setempat. Saat listrik belum masuk, setiap kali akan menonton tayangan bagus di televisi, ia harus berperahu sampan ke ibu kota kecamatan untuk meng-charge aki.

”Kalau sudah di-charge, saya bawa lagi aki ke desa dan dipakai untuk menghidupkan televisi yang ditonton warga ramai-ramai. Biasanya, acara belum selesai aki habis lagi dan saya terpaksa naik perahu lagi ke kecamatan untuk mengisi ulang,” kenang bapak tiga anak ini.

Menurut Gaffar, sejak ada listrik, lebih banyak warga desa yang menyekolahkan atau melanjutkan anak ke SMP bahkan SMA. ”Kalau dulu biaya minyak tanah untuk keperluan lampu minyak besar, sekarang dengan adanya listrik, selisih antara biaya minyak tanah dan iuran listrik lumayan, bisa buat bayar uang bulanan sekolah,” kata Gaffar.

Ini dibenarkan Sapia (50), warga Balayon. ”Kalau dulu untuk minyak tanah saja pengeluaran paling sedikit Rp 15.000 per bulan, sekarang cukup Rp 5.000 setiap bulan. Selisihnya bisa saya pakai untuk kebutuhan lain, tambah-tambah bayar uang sekolah,” kata ibu tiga anak ini.

Impian dari dulu

Pulau Peling adalah salah satu dari 342 pulau di Kabupaten Banggai Kepulauan. Bangkep sendiri adalah satu-satunya kabupaten maritim di Sulawesi Tengah. Salakan, ibu kota Kabupaten Bangkep yang berada di Pulau Peling, harus dijangkau dengan perjalanan laut menggunakan kapal motor selama lima jam dari Luwuk, Banggai. Luwuk adalah daratan di Sulteng, tempat menyeberang ke Pulau Peling, Pulau Banggai, dan beberapa pulau lainnya di Bangkep.

Hingga 2005 lalu, 60 tahun Indonesia merdeka, listrik memang sesuatu yang seperti mimpi di siang bolong bagi sebagian besar warga di Pulau Peling dan pulau-pulau sekitarnya. Tiang-tiang yang dibangun PLN di pulau ini antara tahun 1980 dan 1992, sebagian besar boleh dikata seperti perhiasan jalan saja. Sebagian malah rusak tidak terpakai.

Hingga warga lelah menanti, jaringan tak juga sampai ke rumah mereka. Bahkan, hingga kini di usia kemerdekaan RI yang ke-63, sebagian besar wilayah Pulau Peling yang berpenduduk sekitar 105.000 jiwa masih berpenerangan lampu minyak. Sebagian saja kecamatan, termasuk Salakan, yang terlayani listrik. Itu pun hanya enam jam sehari, yakni antara pukul 18.00 dan 24.00 Wita.

Kalau akhirnya pada 2007 warga Balayon bisa menikmati listrik, itu bukan karena PLN sudah melakukan tugas sebagai satu-satunya BUMN yang diberi hak melayani kebutuhan listrik masyarakat.

”Listrik di Balayon ada karena Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Kalau dulu Program Pengembangan Kecamatan. Saat itu, dari urun rembuk dengan warga disepakati bahwa listrik adalah hal yang paling dibutuhkan desa ini. Apalagi, potensinya ada, yakni mata air yang debitnya cukup untuk menggerakkan pembangkit sederhana, yakni kincir dan menghasilkan listrik,” ujar Gaffar.

Dengan biaya murah, sekitar Rp 182 juta, PLTMH dibangun. Saat ini dengan debit saat kemarau 200 liter per detik, pembangkit ini dapat menyuplai listrik 5 KVA. Dengan daya yang dihasilkan ini, setidaknya di setiap rumah terdapat dua bola lampu berkekuatan 18 watt. Ada pula yang empat bola lampu, bahkan untuk menyalakan televisi. Balayon berpenduduk 90 keluarga (347 jiwa).

Untuk rumah tangga miskin dengan minimal dua bola lampu, iuran pemeliharaan ditetapkan Rp 5.000 per bulan. Adapun yang menggunakan bola lampu lebih banyak atau yang menggunakan alat elektronik lain, pembayarannya Rp 15.000 per bulan. Dibandingkan dengan saat masih menggunakan penerangan lampu minyak atau genset, ini jelas jauh lebih murah.

Bukan hanya di Desa Balayon, pada tahun 2005 melalui program sama, warga Desa Mamulusan juga mengatasi masalah krisis listrik dengan PLTMH. Bertahun-tahun hidup berbalut gulita, saat ini setiap rumah sudah menikmati penerangan listrik kendati hanya 15 hari dalam sebulan.

”Untuk sementara karena keterbatasan alat, terpaksa kami bagi dua bagian dan masing-masing diselang-seling tiap satu malam. Jadi, masing-masing 15 hari. Rencana Kami mau menambah alat supaya dayanya lebih besar karena potensi air masih melimpah agar tidak giliran lagi,” kata Yafet, Ketua Tim Pemelihara Sarana PLTMH Mamulusan.

Karena program ini dinilai berhasil memecahkan masalah listrik, terutama di desa terpencil, pada tahun 2007 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri pedesaan membuat program serupa di Desa Nipa, Kecamatan Lamala, Kabupaten Banggai. Sama dengan di Mamulusan dan Balayon yang sudah dipasangi tiang listrik sejak 1980-an, tapi tak pernah menikmati listrik, Desa Nipa pun demikian.

”Saat PNPM masuk ke desa ini, masyarakat mengusulkan listrik. Kebetulan ada potensi air, program ini pun disetujui. Saat ini sudah uji coba dan berhasil. Tinggal memasang jaringan ke rumah penduduk, memasang travo, listrik sudah bisa dinikmati warga. Mudah-mudahan bisa segera terpasang,” kata Ishak Tintilo, Kepala Desa Nilo.

Pemberdayaan

PNPM Madani Pedesaan atau yang dulu Program Pengembangan Kecamatan dalam setiap programnya selalu melibatkan masyarakat dan menggali potensi yang ada. Intinya, mengatasi masalah dengan menyiasati keterbatasan.

”Makanya, setiap kali membuat program, kami serahkan kepada masyarakat. Mereka yang menentukan apa yang dibutuhkan, potensi apa yang mereka punyai. Mereka juga yang mengawasi pelaksanaan dan menjaga apa yang sudah dibuat. Kami hanya fasilitator,” kata Ikhwan Maulana, Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Spesialis untuk PNPM Mandiri Pedesaan.

Di banyak desa atau kecamatan yang menjadi tempat pelaksanaan berbagai program PNPM, listrik adalah salah satu yang paling sering diusulkan. Selain listrik, ada pula yang mengusulkan air bersih, penampungan air hujan, jembatan, hingga modal usaha.

Di Desa Hosan, Kecamatan Bulagi Selatan, potensi matahari dimanfaatkan warga untuk meminta bantuan pembangkit listrik tenaga surya yang juga jalan dan berhasil mengatasi masalah listrik.

Di Bangkep, sebagaimana dikatakan Bupati Bangkep Irianto Malinggong, listrik memang menjadi persoalan pelik.

[ Kembali ]

Di Laut Memanen Bahan Bakar Nabati

Energi Terbarukan
SURFACTANS BIOENERGY RESEARCH CENTER INSTITUT PERTANIAN BOGOR / Kompas Images
Tabung foto bioreaktor dan kolam terbuka dengan aerasi.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

Oleh YUNI IKAWATI

Menyurutnya minyak di perut bumi mendorong semangat para peneliti memburu energi alternatif ke mana pun, bahkan hingga ke laut. Selain energi dari gelombang dan arus, tumbuhan yang hidup di sana pun memendam energi melimpah, bahkan bakal menjadi ”emas hijau” pada masa mendatang. Jika itu terjadi, pemilik kendaraan bermotor tak perlu antre seharian untuk mendapat bahan bakar minyak.

Memiliki 81.000 kilometer panjang pantai atau pesisir—terpanjang di dunia setelah Kanada—terbayang besarnya peluang Indonesia untuk kembali menjadi pengekspor minyak. Kali ini yang dipasarkan adalah bahan bakar nabati (BBN), bukan lagi bahan bakar minyak (BBM).

Indonesia sebagai pemilik perairan tropis terluas di bumi berpotensi menjadi penghasil BBN terbesar di dunia. Dengan kelimpahan sinar matahari sebagai bahan fotosintesa tumbuhan, perkembangbiakan biota lautnya jauh lebih tinggi dibanding di daerah subtropis.

Dari beragam sumber daya hayati perairan Nusantara, jenis mikroalga (ganggang mikro) kini mulai jadi fokus penelitian karena potensinya sebagai bahan baku penghasil BBN. Selama ini sejumlah mikroalga terbatas dikembangkan untuk bahan baku kosmetik dan farmasi.

Saat ini negara yang gencar membudidayakan mikroalga sebagai BBN adalah Amerika Serikat, Spanyol, dan Belanda. Mereka menggunakan spesies Botryoccocus braunii dari jenis mikroalga hijau. Namun, karena paparan sinar mataharinya terbatas, produktivitasnya rendah.

Sejak 2006, Mujizat Kawaroe dan timnya dari Surfactant and Bioenergy Research Center Institut Pertanian Bogor (SBRC-IPB) telah menemukan bukti tingginya keragaman mikroalga dan produktivitasnya.

Dari empat lokasi pesisir yang diteliti selama dua tahun terakhir, yaitu Kepulauan Seribu, Manado, kawasan Laut Arafura, dan pulau Batam, ia telah menemukan 11 spesies mikroalga.

Dalam penelitian biokultur mikroalga sejak 1980-an, dihasilkan 1 ton mikroalga per meter kubik air. Di antaranya yang potensial sebagai BBN adalah Chlorella—memiliki kandungan minyak mentah maksimal 32 persen, Dunaliella (23 persen), Isochrysis galbana (35 persen), dan Nannochloropsis oculata (68 persen).

Nilai lebih

Mikroalga yang biasa disebut fitoplankton, karena menyerap karbondioksida dan nutrien secara efektif dapat tumbuh cepat dan bisa dipanen dalam empat hingga 10 hari. Produktivitas 30 kali lebih banyak dibanding tumbuhan darat. Kelapa sawit, misalnya, perlu waktu 5 bulan, sedangkan jatropa atau jarak pagar perlu 3 bulan.

Lalu bila dibanding minyak bumi yang sulit mencari sumbernya dan perlu proses yang rumit dan mahal, mikroalga juga unggul. Pada 1 hektar ladang minyak bumi hanya bisa disedot 0,83 barrel minyak per hari, sedangkan pada luas yang sama budidaya mikroalga menghasilkan 2 barrel BBN.

Nilai lebih lain, antara lain, adalah sifat sumbernya yang terbarukan dan ramah lingkungan. Pada tahap budidaya, perkembangbiakan mikroalga juga meningkat 2,5 kali bila ke dalam kolom airnya dipasok CO2 , dibandingkan hanya dengan aerasi atau suplai O2. Untuk menghasilkan 5 ton mikroalga setiap hari diperlukan 1 kg CO2.Total butuh 10 kg CO2 hingga panen.

Ini artinya kultivasi mikroalga berpeluang mengatasi masalah lingkungan global, karena selama ini CO2 jadi gas pencemar dominan yang menyebabkan efek rumah kaca penyebab pemanasan global. ”Karena itu, dengan budidaya ini, Indonesia berpeluang mendapat dana dari negara maju,” saran Mujizat.

Di sisi industri, keberadaan budidaya ini untuk menyerap emisi CO2 dari pabriknya mendukung pencapaian peringkat hijau industri yang ramah lingkungan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Pada tahap pengolahan mikroalga menjadi BBN, juga tidak timbul zat pencemar karena limbahnya 100 persen jadi pakan ternak.

Budidaya mikroalga dikembangkan di dekat habitat alaminya. Karena di situlah lingkungan yang paling nyaman bagi jasad renik itu berkembang biak.

Untuk pengembangan budidaya mikroalga, SBRC-IPB akan bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam pemanfaatan kawasan pesisir dan pemberdayaan masyarakatnya agar terentas dari kemiskinan. Mujizat mengharap dukungan dari semua kalangan terutama industri nasional untuk tahap komersial.

Bahan bakar alga

Dalam tubuh mikroalga terkandung protein (50 persen), lemak (30 persen), dan karbohidrat (20 persen). Dari lemak diekstraksi menjadi biodiesel, sedangkan karbohidrat bioetanol untuk menggantikan bensin.

Untuk menghasilkan BBN, mikroalga disaring, dikeringkan, dan diekstraksi. Pada tahap berikutnya, untuk menghasilkan biodiesel dilakukan pemurnian dan esterifikasi untuk mengurai lemak menjadi hidrokarbon.

Selanjutnya ampas atau residu pada proses tersebut di distilasi untuk menghasilkan bioetanol. Sisa dari tahap kedua ini mengandung protein yang diolah menjadi pakan ternak.

Proses pembuatan BBN dari mikroalga laut tropis ini telah didaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas nama Mujizat Kawaroe, April lalu. Risetnya lalu meningkat pada upaya menaikkan kandungan lipid. Penemuan enzim ini juga akan dipatenkannya.

Mengetahui hasil penelitian Mujizat, pihak asing berbondong-bondong menawarkan kerja sama eksklusif dengan pihak IPB. Tawaran itu ditampiknya. Ia memilih kerja sama terbuka, bahkan ia cenderung bekerja sama dengan industri nasional.

Dalam seminar berjudul ”Oil Algae: The Next Prospective Environmental Biofuel Feedstock” di Bogor, Selasa (26/8), SBRC- IPB menyepakati kerja sama dengan PT Diatoms Cell Energy, Biomac Corp Sdn Bhd (Malaysia), dan Supreme Biotechnologies Ltd (Selandia Baru). Perusahaan nasional Diatoms Cell Energy akan menampung semua hasil penelitian dan mendanai peningkatan teknologinya.

Perusahaan ini menyediakan dua lokasi budidaya, yaitu di Cilamaya (Sukabumi) dan di Pulau Natuna (Kepulauan Riau), dikaitkan dengan suplai CO2 dari hasil samping kilang minyak.

Dalam program kerja sama itu, SCRC-IPB menargetkan tahun 2011 melakukan studi kelayakan dan uji penggunaan pada kendaraan bermotor, dan dalam lima tahun mendirikan pabrik percontohan.

[ Kembali ]

Intervensi Asing di Sektor Energi Terkuak

IBRD Kucurkan 420 Juta Dollar AS
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

Jakarta, Kompas - Adanya intervensi asing dalam pengelolaan energi nasional terus terkuak dalam pemanggilan saksi-saksi oleh Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat.

Ichsanuddin Noorsy, sebagai saksi ahli di Panitia Angket, Kamis (4/9), menunjukkan sejumlah dokumen yang semakin menguatkan adanya intervensi asing tersebut.

Dokumen itu, antara lain, semacam radiogram (teletex) dari Washington kepada Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia J Stapleton Roy untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan seperti tertulis di dokumen itu.

Dalam dokumen tersebut, antara lain, tertulis: naskah RUU Minyak dan Gas diharapkan dikaji ulang parlemen Indonesia pada bulan Januari. Dokumen itu dikategorikan confidential yang ditindih cap unclassified.

Ichsanuddin juga menyerahkan dokumen laporan Bank Dunia berjudul Proyek Energi Indonesia yang disiapkan 17 November 2000. Dalam dokumen itu tertulis nilai proyek 730 juta dollar AS. Sebanyak 310 juta dollar AS merupakan dana pemerintah dan 420 juta dollar AS di antaranya dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD).

Sebelumnya, Panitia Angket juga mendapatkan data bahwa USAID, lembaga swadaya AS, mengucurkan dana 21 juta dollar AS untuk asistensi revisi UU Migas. ”Diliberalkannya industri migas itu, selain tertuang di letter of intent, juga tertuang di ADB (Bank Pembangunan Asia), USAID, dan Bank Dunia,” ucap Ichsanuddin.

Menurut Ichsanuddin, yang paling diuntungkan dari adanya liberalisasi migas adalah kartel industri migas.

Panitia Angket menyambut gembira adanya dokumen-dokumen tersebut. ”Dokumen dan penjelasannya luar biasa,” ucap Effendy Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa.

Eva Kusuma Sundari dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bahkan mengaku sangat kaget dengan adanya dokumen-dokumen tersebut.

Menurut Dradjad Wibowo dari Fraksi Partai Amanat Nasional, dokumen-dokumen ini semakin mengindikasikan kuat bahwa pembuatan UU Migas sarat intervensi asing.

Panggil pejabat terkait

Untuk menelusuri sejauh mana intervensi asing ini memengaruhi pengambil kebijakan, Ichsanuddin merekomendasikan Panitia Angket memanggil semua pejabat yang terkait.

”Yang mestinya dipanggil, misalnya, Purnomo (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral). Bagaimana undang-undang itu dibuat? Bagaimana Purnomo menggagas pencabutan subsidi yang ternyata cocok dengan dokumen tadi yang memerintahkan pencabutan subsidi?” kata Ichsanuddin.

Ia juga menyinggung Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 yang mengatakan subsidi harus dikurangi bertahap.

”Panggil juga Bappenas, Sri Mulyani kenapa menggagas pencabutan subsidi?” ujarnya. (SUT)

[ Kembali ]

Kamis, 04 September 2008

Berorientasi Ekspor, Kebutuhan Rakyat Tidak Dipenuhi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008

Jakarta, Kompas - Pengelolaan sumber daya energi dan pangan telah menjauhkan pemenuhan kebutuhan rakyat. Pengelolaan sumber daya energi seperti minyak, gas, dan batu bara malah berorientasi ekspor.

Seperti kasus terakhir, gas alam cair LNG Tangguh sudah dijual ke China sebelum berproduksi. Padahal, masyarakat dan industri dalam negeri dalam keadaan kekurangan suplai gas.

”Sejauh ini tidak ada politik energi untuk memenuhi kebutuhan rakyat,” kata Koordinator Eksekutif Nasional Walhi Berry N Furqon kepada wartawan di Jakarta, Rabu (3/9). Beberapa lembaga swadaya masyarakat menyikapi keterlibatan asing dalam penyusunan Undang-Undang (UU) Migas, antara lain Walhi, Jatam, Koalisi Anti Utang (KAU), Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Kontra Privatisasi (Alkatras), dan Lingkar Madani Indonesia (Lima).

Di sektor batu bara, 70 persen produk diekspor, 30 persen untuk di dalam negeri. ”Bandingkan dengan China, walau punya batu bara banyak, tetap mencari dari negara lain,” kata Koordinator Jatam Siti Maemunah.

Dikuasai asing

Semua pembicara menyatakan, salah satu akar persoalan ketidakmandirian energi primer dan sekunder di Indonesia adalah keterlibatan asing. Isi UU Migas memungkinkan keterlibatan asing dari hulu hingga hilir.

Korporasi asing boleh menguasai sumber energi hingga investasi di sektor hilir, seperti memiliki stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Bukti adanya keterlibatan asing sudah ada sejak mulai penyusunan UU.

Ray Rangkuti dari Lima mengatakan, keterlibatan asing dalam penyusunan UU tertentu, yang tak terkait kedaulatan bangsa, masih bisa dikompromikan. Namun, bila mengatur isi, mengubah ideologi, dan mengatur arah pengelolaan sumber daya, hal itu tidak boleh.

”Mengejutkan, Undang-Undang yang menentukan masa depan rakyat, seperti UU Migas, ternyata melibatkan asing demi pro-pasar dan antisubsidi,” katanya. Sekitar empat juta dollar AS dikucurkan USAID untuk reformasi sektor energi Indonesia.

Bersama Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, USAID mengeluarkan dana besar pembuatan draf UU Migas tahun 2000 dengan studinya. ”Studi itu merekomendasikan semangat kompetisi, berorientasi pasar, menghilangkan intervensi pemerintah, termasuk mengurangi subsidi,” kata Ketua KAU Dani Setiawan. Kenaikan harga BBM tak lepas dari liberalisasi tersebut.

Menurut Siti Maemunah, selama pemerintah tunduk total dengan kemauan asing, di baliknya ada kekuatan modal asing, kedaulatan energi dan pangan, tidak mungkin tercapai.

Hingga kini, selain UU Migas, UU Sumber Daya Air dan UU Penanaman Modal juga diduga. (GSA)

[ Kembali ]

Selesaikan Masalah Energi Secara Menyeluruh

Fokus
Diunduh dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta | Jum'at, 29 Agt 2008
by : Vien Dimyati

Kenaikan harga elpiji telah menggelisahkan masyarakat. Antara lain menyebabkan harga eceran di konsumen melonjak melebihi ketetapan Pertamina. Di beberapa tempat elpiji menghilang dan menyebabkan antrian.

Pengamat perminyakan dan gas, Kurtubi menilai dampak buruk itu terjadi akibat ketidaktegasan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) yang seharusnya dapat mengontrol harga elpiji dari Pertamina. "Seharusnya, Menteri ESDM Purnomo Yusgiyantoro dapat mengambil alih dan berwenang menentukan," tutur Kurtubi kepada Jurnal Nasional, di Jakarta, (28/8).

Kurtubi menduga, dengan diserahkannya Pertamina sebagai pengontrol kebijakan dan penentu harga tunggal, itu adalah bentuk cuci tangan Menteri ESDM agar tidak disalahkan oleh masyarakat luas ketika harga gas naik. "Bisa jadi, Menteri ESDM cuci tangan. Biar kemudian Pertamina yang disalahkan karena telah menaikkan harga," katanya.

Lebih lanjut dijelaskan, jika tata niaga suatu komoditas dilakukan oleh pelaku tunggal maka seharusnya harga ditetapkan bersama. Bukan oleh pelaku usaha, dalam hal ini Pertamina. "Untuk itu, harus cepat diambil alih," sarannya lagi.

Untuk itu, Kurtubi sekali lagi meminta keterlibatan departemen terkait untuk ikut campur dalam menentukan harga yang tata niaganya dipegang oleh pemain tunggal. "Harus ada keterbukaan mengenai harga pokok dan kejelasan harga jual elpiji oleh Pertamina," tegasnya.

Terlebih, lanjut Kurtubi, menaikkan harga elpiji menjelang puasa dan hari raya adalah keputusan yang tak tepat, karena gas elpiji saat ini merupakan kebutuhan orang banyak. Hal ini juga dapat menggangu industri yang mengandalkan gas elpiji.

Sebelumnya, Pertamina telah menaikkan harga jual elpiji 12 kilogramdinaikkan 9,5% mulai pada Senin (25/8) lalu. Harga jual elpiji kemasan 12 kilogram naik dari Rp 63.000 jadi Rp69.000.Kenaikan direncanakan akan bertahap Rp500 per kilogram setiap bulan hingga mencapai harga keekonomian Rp11.400 per kilogram.

Prof. Dr Widjajono Partiwidagdo, Guru Besar Perminyakan ITB mengatakan kenaikan harga gas elpiji wajar karena harga internasional memang melonjak. Makanya, dia berpendapat Pertamina bisa dimengerti kalau menaikan haega elpiji. Alasannya Pertamina sebagai perusahan tidak bertanggung jawab untuk mennsubsidi orang miskin.


Tapi dia mengakui, soal kenaikan barang yang dibutuhkan orang banyak, seperti elpiji memang harus dipikirkan masak-masak. Dalam menangani masalah ini ada Dewan Energi Nasional, tim khusus yang bisa tangani energi. "Jadi tidak perlu tim khusus lagi karena kita sudah punya dewan yang dapat menangani masalah ini. Kalau dewan energinya tidak beres salahin saja dewannya itu, " katanya. Semua permasalahan energi itu harus diselesaikan secara menyeluruh.
Irfan Fikri/ Vien Dimyanti

[ Kembali ]