Kamis, 31 Juli 2008

Masyarakat Harus Beralih dari Zona Nyaman

Dikutip dari Harian Jurnal Nasional Rubrik Fokus Hari Ini, Jakarta Senin, 14 Jul 2008, halaman 01.

Krisis listrik yang terjadi akhir-akhir ini harus menjadi momentum bagi para konsumen listik untuk beralih dari zona nyaman (comfort zone) yang dinikmatinya selama ini. Krisis listrik juga harus menjadi kesempatan positif bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk merasa prihatin dan membangun spirit kebersamaan.
"Namun, Saya prihatin tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk menderita. Tapi kita harus mengambil hikmahnya, semacam blessing in disquise, dari krisis yang kita hadapi saat ini. Kenikmatan berbagi harus menjadi spirit bersama." Hal itu dikemukakan pengamat kelistrikan Tri Mumpuni dalam sebuah diskusi bertajuk "Krisis Listrik dan Nasib Dunia Industri, di Jakarta (12/7).
Salah satu bentuk peralihan dari zona nyaman itu, kata Tri, adalah dengan menaikkan temperatur air conditioner (AC). Jika selama ini temperature berada pada kisaran 18 derajat Celsius, maka pada saat krisis cukup berada pada 25 derajat Celsius. Demikian juga lift yang tidak perlu digunakan sebaiknya dimatikan.
Menurut Tri, Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pengalihan hari kerja ke hari Sabtu dan Minggu, serta pemadaman listrik bergilir, sudah tepat dilakukan. "Semua pihak, termasuk pengusaha diminta untuk turut menanggung beban pemerintah," ujarnya.
Direktur PLN Jawa-Bali, Murtaqi mengatakan, para pengusaha telah menangkap spirit SKB. Walaupun mereka mengeluh lantaran akan menanggung kerugian, tapi mereka bisa menangkap spirit yakni membangun kebersamaan dalam krisis. Karena itu, ancaman bahwa pengusaha Jepang akan hengkang jika SKB diterapkan, tidak benar adanya. "Pengusaha Jepang tidak akan hengkang dari Jakarta. Mereka memang ingin tahu persis situasi listrik dan mencari tahu solusi yang diambil pemerintah," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto menyayangkan keluarnya SKB yang menurutnya terburu-buru. SKB misalnya, belum menegaskan apakah kerja pada hari Sabtu atau Minggu itu masuk kategori lembur atau tidak. Pengalihan jam kerja juga akan menimbulkan kerugian bagi pengusaha dan karena itu bisa dikenakan one-prestasi.
"Mestinya SKB jangan diteken sebelum semuanya rapih. Ini, SKB sudah diteken. Apa jaminan itu berhasil,"ujar Djimanto. Karena itu, ia berharap agar pemerintah kembali duduk bersama dengan kalangan pengusaha dan serikat pekerja sebelum keputusan itu benar-benar diberlakukan. Menurut Djimanto, pemerintah perlu memperhitungkan implikasi sekaligus mengantisipasi implikasi negatif yang ditimbulkan kebijakan tersebut.
Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian Agus Cahyana mengatakan, solusi yang diambil pemerintah merupakan jalan terbaik dalam situasi sulit ini. Pemerintah juga berusaha mengatasi konsekuensi atau implikasi kebijakan tersebut. "Kita harus mengurangi kenyamanan kita. Pemerintah melakukan kebijakan ini secara amanah. Dan pengusaha juga harus membantu itu," ujar Agus.
Salah satu upaya mengurangi kenyamanan yang saat ini telah dilakukan Departemen Perindustrian, kata Agus, adalah dengan menaikan temperatur AC pada 25 derajat Celsius. Demikian juga lift yang seluruhnya berjumlah 8 buah hanya dihidupkan dari pukul 08.00-09.00.
Sedangkan dari pukul 09.00 hingga pukul 15.30 hanya menggunakan 3 buah lift. Upaya ini, kata Agus, dapat mengurangi 30% beban listik di kantor tersebut. "Jika penghematan tersebut dilakukan oleh semua kantor swasta, maka krisis listrik dapat teratasi," ujarnya.
Very Herdiman