Sabtu, 06 September 2008

Presiden Bentuk Tim Renegosiasi

Berpotensi Timbulkan Kerugian Rp 75 Triliun
KOMPAS/ALIF ICHWAN / Kompas Images
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (28/8). Sidang yang dihadiri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu tersebut membahas masalah ketahanan pangan dan energi serta pendidikan.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera membentuk tim yang kuat untuk melakukan renegosiasi harga jual gas alam Kontrak LNG Tangguh ke China. Tim ini akan dipimpin Menko Perekonomian yang dijabat oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Adapun Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla akan disertakan sebagai pengawas tim. Anggota tim lainnya terdiri atas pejabat departemen teknis.

Instruksi Presiden itu disampaikan saat mengawali Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Kamis (28/8) di Jakarta.

”Wapres akan menjadi supervisi atas jalannya kerja tim untuk membikin sasaran harga yang realistis dan melakukan benchmarking,” ujar Presiden.

Menurut Presiden, anggota tim yang dipilih jangan sampai memiliki konflik kepentingan dan sanggup bekerja sesuai sistem dan aturan. ”Jangan mengangkat orang di luar sistem,” tutur Presiden.

Presiden menambahkan, bila tim ini berhasil merenegosiasi dan pemerintah telah mengambil keputusan, sebagai Presiden, dirinya akan mengambil alih semua tanggung jawab. ”Khususnya jika ada masalah dari kebijakan atau substansi kontrak. Jadi, jangan ada keragu-raguan untuk memulai renegosiasi,” kata Presiden.

Lebih jauh, Presiden menambahkan, keputusan pemerintah melakukan renegosiasi harga jual gas alam Kontrak LNG Tangguh ke China diambil setelah pemerintah mendapat laporan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 14 Juni lalu.

Ketua BPK Anwar Nasution membenarkan adanya surat BPK yang meminta pemerintah mengoreksi kembali harga jual gas yang disepakati dalam Kontrak LNG Tangguh. Pasalnya, pemerintah akan menanggung rugi dalam kontrak penjualan yang ditandatangani pada 2002 itu.

Seperdelapan harga

Wapres Kalla yang diminta memberikan penjelasan setelah bertemu Wapres China XI Jinping di Beijing, China, pekan lalu, menyatakan bahwa kontrak penjualan gas yang dilakukan pada era Presiden Megawati Soekarnoputri itu dapat menimbulkan potensi kerugian negara hingga sebesar Rp 75 triliun.

”Dengan harga jual gas Tangguh hanya seperdelapan dari harga jual yang seharusnya pada harga sekarang ini, negara akan dirugikan sekitar 3 miliar dollar AS setahun. Kita kehilangan kesempatan pendapatan 3 miliar dollar AS setahun dan, kalau dikalikan 25 tahun, akan menjadi sekitar Rp 75 triliun,” papar Wapres.

Adapun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menegaskan, tidak ada yang salah dari Kontrak LNG Tangguh yang dilakukannya pada waktu itu. Pasalnya, kesepakatan harga ekspor gas Lapangan Tangguh ke China yang dinilai sangat murah sebenarnya sesuai dengan biaya eksplorasi lapangannya.

”Tangguh itu waktu diputuskan biayanya juga murah. Bayangkan saja, British Petroleum berani berinvestasi Rp 55 triliun. Kalau itu proyek rugi, mana mereka mau,” ujar Purnomo.

Sesuai harga minyak

Purnomo juga menambahkan, kesepakatan harga jual gas sebesar 3,8 dollar AS per MMBTU itu sudah sesuai dengan perhitungan harga minyak dunia yang diperkirakan hanya 25 dollar AS per barrel pada waktu itu.

”Harganya pakai formula juga. Cuma, harga minyak waktu itu berkisar antara 10 sampai 20 dollar per barrel. Jadi, hitungannya dipatok 25 dollar per barrel. Saat itu, kita tidak pernah tahu harga minyak melonjak,” katanya.

Diakui Purnomo, meski ada klausul untuk penyesuaian harga jual setelah empat tahun pengiriman gas, yang baru akan dilakukan tahun depan, Purnomo menyetujui agar pemerintah melakukan renegosiasi.

Purnomo juga menepis anggapan rendahnya harga jual gas Tangguh itu dapat merugikan negara karena kondisi waktu itu tidak bisa melihat perkembangan yang akan terjadi. ”Jadi, itu adalah dinamika perkembangan situasi. Antisipasinya pun sudah ada. Namun, kita tidak pernah dapat dari para analis bahwa harga berubah dan melonjak setinggi sekarang itu,” ujarnya. (har)

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Tak Ada Lagi Gulita di Pulau Peling

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008
Oleh Reny Sri Ayu Taslim

Saat tiba di Desa Balayon, Kecamatan Liang, Pulau Peling, Kabupaten Banggai Kepulauan, sore awal Agustus lalu, mendung menggantung di langit. Semilir angin berembus perlahan diiringi suara debur ombak. Desa Balayon memang berada di ketinggian dan di bawahnya berbatasan dengan pantai. Dari atas ketinggian, pandangan akan tertuju pada lautan lepas dan beberapa pulau di kejauhan.

Dari rumah-rumah warga, sayup-sayup terdengar suara nyanyian dari pemutar musik ataupun siaran televisi. Di bagian lain, anak-anak desa dengan riang berenang di sebuah kolam alam, tepat di dekat gerbang desa. Di ujung kolam, ada bangunan serupa gardu yang di dalamnya terdapat kincir yang terus berputar.

Kincir yang merupakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) ini sudah ada sejak 2007. Boleh dikata, keberadaan kincir ini mengubah hidup warga desa. Dari yang gelap gulita pada waktu malam, kini lebih meriah dan lebih terang karena adanya listrik.

Malam-malam warga desa kini adalah malam-malam yang lebih ramai, lebih terang. Ada pula acara nonton bareng, mulai dari siaran berita hingga hiburan.

”Dulu, begitu lepas magrib, desa ini sunyi, gelap. Pukul 20.00 sudah seperti tengah malam. Tidak ada lagi orang lalu lalang. Semua di dalam rumah,” kata Gaffar Kahar, Kepala Desa Balayon.

Bukan soal ramai tak ramai saja yang berubah sejak ada listrik di Balayon. Keberadaan listrik mengubah banyak hal, mulai dari aspek sosial, ekonomi, hingga pendidikan.

”Dulu sebelum ada listrik, suplai minyak tanah untuk Desa Balayon 240 liter per dua minggu. Setelah ada listrik, tinggal 80 liter per dua minggu, itu pun kadang tidak habis. Kalau dulu kan minyak tanah banyak dipakai untuk lampu minyak. Belum lagi bensin atau solar untuk genset,” kata Gaffar.

Lain lagi cerita Sudiro (56), warga desa setempat. Saat listrik belum masuk, setiap kali akan menonton tayangan bagus di televisi, ia harus berperahu sampan ke ibu kota kecamatan untuk meng-charge aki.

”Kalau sudah di-charge, saya bawa lagi aki ke desa dan dipakai untuk menghidupkan televisi yang ditonton warga ramai-ramai. Biasanya, acara belum selesai aki habis lagi dan saya terpaksa naik perahu lagi ke kecamatan untuk mengisi ulang,” kenang bapak tiga anak ini.

Menurut Gaffar, sejak ada listrik, lebih banyak warga desa yang menyekolahkan atau melanjutkan anak ke SMP bahkan SMA. ”Kalau dulu biaya minyak tanah untuk keperluan lampu minyak besar, sekarang dengan adanya listrik, selisih antara biaya minyak tanah dan iuran listrik lumayan, bisa buat bayar uang bulanan sekolah,” kata Gaffar.

Ini dibenarkan Sapia (50), warga Balayon. ”Kalau dulu untuk minyak tanah saja pengeluaran paling sedikit Rp 15.000 per bulan, sekarang cukup Rp 5.000 setiap bulan. Selisihnya bisa saya pakai untuk kebutuhan lain, tambah-tambah bayar uang sekolah,” kata ibu tiga anak ini.

Impian dari dulu

Pulau Peling adalah salah satu dari 342 pulau di Kabupaten Banggai Kepulauan. Bangkep sendiri adalah satu-satunya kabupaten maritim di Sulawesi Tengah. Salakan, ibu kota Kabupaten Bangkep yang berada di Pulau Peling, harus dijangkau dengan perjalanan laut menggunakan kapal motor selama lima jam dari Luwuk, Banggai. Luwuk adalah daratan di Sulteng, tempat menyeberang ke Pulau Peling, Pulau Banggai, dan beberapa pulau lainnya di Bangkep.

Hingga 2005 lalu, 60 tahun Indonesia merdeka, listrik memang sesuatu yang seperti mimpi di siang bolong bagi sebagian besar warga di Pulau Peling dan pulau-pulau sekitarnya. Tiang-tiang yang dibangun PLN di pulau ini antara tahun 1980 dan 1992, sebagian besar boleh dikata seperti perhiasan jalan saja. Sebagian malah rusak tidak terpakai.

Hingga warga lelah menanti, jaringan tak juga sampai ke rumah mereka. Bahkan, hingga kini di usia kemerdekaan RI yang ke-63, sebagian besar wilayah Pulau Peling yang berpenduduk sekitar 105.000 jiwa masih berpenerangan lampu minyak. Sebagian saja kecamatan, termasuk Salakan, yang terlayani listrik. Itu pun hanya enam jam sehari, yakni antara pukul 18.00 dan 24.00 Wita.

Kalau akhirnya pada 2007 warga Balayon bisa menikmati listrik, itu bukan karena PLN sudah melakukan tugas sebagai satu-satunya BUMN yang diberi hak melayani kebutuhan listrik masyarakat.

”Listrik di Balayon ada karena Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Kalau dulu Program Pengembangan Kecamatan. Saat itu, dari urun rembuk dengan warga disepakati bahwa listrik adalah hal yang paling dibutuhkan desa ini. Apalagi, potensinya ada, yakni mata air yang debitnya cukup untuk menggerakkan pembangkit sederhana, yakni kincir dan menghasilkan listrik,” ujar Gaffar.

Dengan biaya murah, sekitar Rp 182 juta, PLTMH dibangun. Saat ini dengan debit saat kemarau 200 liter per detik, pembangkit ini dapat menyuplai listrik 5 KVA. Dengan daya yang dihasilkan ini, setidaknya di setiap rumah terdapat dua bola lampu berkekuatan 18 watt. Ada pula yang empat bola lampu, bahkan untuk menyalakan televisi. Balayon berpenduduk 90 keluarga (347 jiwa).

Untuk rumah tangga miskin dengan minimal dua bola lampu, iuran pemeliharaan ditetapkan Rp 5.000 per bulan. Adapun yang menggunakan bola lampu lebih banyak atau yang menggunakan alat elektronik lain, pembayarannya Rp 15.000 per bulan. Dibandingkan dengan saat masih menggunakan penerangan lampu minyak atau genset, ini jelas jauh lebih murah.

Bukan hanya di Desa Balayon, pada tahun 2005 melalui program sama, warga Desa Mamulusan juga mengatasi masalah krisis listrik dengan PLTMH. Bertahun-tahun hidup berbalut gulita, saat ini setiap rumah sudah menikmati penerangan listrik kendati hanya 15 hari dalam sebulan.

”Untuk sementara karena keterbatasan alat, terpaksa kami bagi dua bagian dan masing-masing diselang-seling tiap satu malam. Jadi, masing-masing 15 hari. Rencana Kami mau menambah alat supaya dayanya lebih besar karena potensi air masih melimpah agar tidak giliran lagi,” kata Yafet, Ketua Tim Pemelihara Sarana PLTMH Mamulusan.

Karena program ini dinilai berhasil memecahkan masalah listrik, terutama di desa terpencil, pada tahun 2007 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri pedesaan membuat program serupa di Desa Nipa, Kecamatan Lamala, Kabupaten Banggai. Sama dengan di Mamulusan dan Balayon yang sudah dipasangi tiang listrik sejak 1980-an, tapi tak pernah menikmati listrik, Desa Nipa pun demikian.

”Saat PNPM masuk ke desa ini, masyarakat mengusulkan listrik. Kebetulan ada potensi air, program ini pun disetujui. Saat ini sudah uji coba dan berhasil. Tinggal memasang jaringan ke rumah penduduk, memasang travo, listrik sudah bisa dinikmati warga. Mudah-mudahan bisa segera terpasang,” kata Ishak Tintilo, Kepala Desa Nilo.

Pemberdayaan

PNPM Madani Pedesaan atau yang dulu Program Pengembangan Kecamatan dalam setiap programnya selalu melibatkan masyarakat dan menggali potensi yang ada. Intinya, mengatasi masalah dengan menyiasati keterbatasan.

”Makanya, setiap kali membuat program, kami serahkan kepada masyarakat. Mereka yang menentukan apa yang dibutuhkan, potensi apa yang mereka punyai. Mereka juga yang mengawasi pelaksanaan dan menjaga apa yang sudah dibuat. Kami hanya fasilitator,” kata Ikhwan Maulana, Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Spesialis untuk PNPM Mandiri Pedesaan.

Di banyak desa atau kecamatan yang menjadi tempat pelaksanaan berbagai program PNPM, listrik adalah salah satu yang paling sering diusulkan. Selain listrik, ada pula yang mengusulkan air bersih, penampungan air hujan, jembatan, hingga modal usaha.

Di Desa Hosan, Kecamatan Bulagi Selatan, potensi matahari dimanfaatkan warga untuk meminta bantuan pembangkit listrik tenaga surya yang juga jalan dan berhasil mengatasi masalah listrik.

Di Bangkep, sebagaimana dikatakan Bupati Bangkep Irianto Malinggong, listrik memang menjadi persoalan pelik.

[ Kembali ]

Di Laut Memanen Bahan Bakar Nabati

Energi Terbarukan
SURFACTANS BIOENERGY RESEARCH CENTER INSTITUT PERTANIAN BOGOR / Kompas Images
Tabung foto bioreaktor dan kolam terbuka dengan aerasi.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

Oleh YUNI IKAWATI

Menyurutnya minyak di perut bumi mendorong semangat para peneliti memburu energi alternatif ke mana pun, bahkan hingga ke laut. Selain energi dari gelombang dan arus, tumbuhan yang hidup di sana pun memendam energi melimpah, bahkan bakal menjadi ”emas hijau” pada masa mendatang. Jika itu terjadi, pemilik kendaraan bermotor tak perlu antre seharian untuk mendapat bahan bakar minyak.

Memiliki 81.000 kilometer panjang pantai atau pesisir—terpanjang di dunia setelah Kanada—terbayang besarnya peluang Indonesia untuk kembali menjadi pengekspor minyak. Kali ini yang dipasarkan adalah bahan bakar nabati (BBN), bukan lagi bahan bakar minyak (BBM).

Indonesia sebagai pemilik perairan tropis terluas di bumi berpotensi menjadi penghasil BBN terbesar di dunia. Dengan kelimpahan sinar matahari sebagai bahan fotosintesa tumbuhan, perkembangbiakan biota lautnya jauh lebih tinggi dibanding di daerah subtropis.

Dari beragam sumber daya hayati perairan Nusantara, jenis mikroalga (ganggang mikro) kini mulai jadi fokus penelitian karena potensinya sebagai bahan baku penghasil BBN. Selama ini sejumlah mikroalga terbatas dikembangkan untuk bahan baku kosmetik dan farmasi.

Saat ini negara yang gencar membudidayakan mikroalga sebagai BBN adalah Amerika Serikat, Spanyol, dan Belanda. Mereka menggunakan spesies Botryoccocus braunii dari jenis mikroalga hijau. Namun, karena paparan sinar mataharinya terbatas, produktivitasnya rendah.

Sejak 2006, Mujizat Kawaroe dan timnya dari Surfactant and Bioenergy Research Center Institut Pertanian Bogor (SBRC-IPB) telah menemukan bukti tingginya keragaman mikroalga dan produktivitasnya.

Dari empat lokasi pesisir yang diteliti selama dua tahun terakhir, yaitu Kepulauan Seribu, Manado, kawasan Laut Arafura, dan pulau Batam, ia telah menemukan 11 spesies mikroalga.

Dalam penelitian biokultur mikroalga sejak 1980-an, dihasilkan 1 ton mikroalga per meter kubik air. Di antaranya yang potensial sebagai BBN adalah Chlorella—memiliki kandungan minyak mentah maksimal 32 persen, Dunaliella (23 persen), Isochrysis galbana (35 persen), dan Nannochloropsis oculata (68 persen).

Nilai lebih

Mikroalga yang biasa disebut fitoplankton, karena menyerap karbondioksida dan nutrien secara efektif dapat tumbuh cepat dan bisa dipanen dalam empat hingga 10 hari. Produktivitas 30 kali lebih banyak dibanding tumbuhan darat. Kelapa sawit, misalnya, perlu waktu 5 bulan, sedangkan jatropa atau jarak pagar perlu 3 bulan.

Lalu bila dibanding minyak bumi yang sulit mencari sumbernya dan perlu proses yang rumit dan mahal, mikroalga juga unggul. Pada 1 hektar ladang minyak bumi hanya bisa disedot 0,83 barrel minyak per hari, sedangkan pada luas yang sama budidaya mikroalga menghasilkan 2 barrel BBN.

Nilai lebih lain, antara lain, adalah sifat sumbernya yang terbarukan dan ramah lingkungan. Pada tahap budidaya, perkembangbiakan mikroalga juga meningkat 2,5 kali bila ke dalam kolom airnya dipasok CO2 , dibandingkan hanya dengan aerasi atau suplai O2. Untuk menghasilkan 5 ton mikroalga setiap hari diperlukan 1 kg CO2.Total butuh 10 kg CO2 hingga panen.

Ini artinya kultivasi mikroalga berpeluang mengatasi masalah lingkungan global, karena selama ini CO2 jadi gas pencemar dominan yang menyebabkan efek rumah kaca penyebab pemanasan global. ”Karena itu, dengan budidaya ini, Indonesia berpeluang mendapat dana dari negara maju,” saran Mujizat.

Di sisi industri, keberadaan budidaya ini untuk menyerap emisi CO2 dari pabriknya mendukung pencapaian peringkat hijau industri yang ramah lingkungan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Pada tahap pengolahan mikroalga menjadi BBN, juga tidak timbul zat pencemar karena limbahnya 100 persen jadi pakan ternak.

Budidaya mikroalga dikembangkan di dekat habitat alaminya. Karena di situlah lingkungan yang paling nyaman bagi jasad renik itu berkembang biak.

Untuk pengembangan budidaya mikroalga, SBRC-IPB akan bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam pemanfaatan kawasan pesisir dan pemberdayaan masyarakatnya agar terentas dari kemiskinan. Mujizat mengharap dukungan dari semua kalangan terutama industri nasional untuk tahap komersial.

Bahan bakar alga

Dalam tubuh mikroalga terkandung protein (50 persen), lemak (30 persen), dan karbohidrat (20 persen). Dari lemak diekstraksi menjadi biodiesel, sedangkan karbohidrat bioetanol untuk menggantikan bensin.

Untuk menghasilkan BBN, mikroalga disaring, dikeringkan, dan diekstraksi. Pada tahap berikutnya, untuk menghasilkan biodiesel dilakukan pemurnian dan esterifikasi untuk mengurai lemak menjadi hidrokarbon.

Selanjutnya ampas atau residu pada proses tersebut di distilasi untuk menghasilkan bioetanol. Sisa dari tahap kedua ini mengandung protein yang diolah menjadi pakan ternak.

Proses pembuatan BBN dari mikroalga laut tropis ini telah didaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas nama Mujizat Kawaroe, April lalu. Risetnya lalu meningkat pada upaya menaikkan kandungan lipid. Penemuan enzim ini juga akan dipatenkannya.

Mengetahui hasil penelitian Mujizat, pihak asing berbondong-bondong menawarkan kerja sama eksklusif dengan pihak IPB. Tawaran itu ditampiknya. Ia memilih kerja sama terbuka, bahkan ia cenderung bekerja sama dengan industri nasional.

Dalam seminar berjudul ”Oil Algae: The Next Prospective Environmental Biofuel Feedstock” di Bogor, Selasa (26/8), SBRC- IPB menyepakati kerja sama dengan PT Diatoms Cell Energy, Biomac Corp Sdn Bhd (Malaysia), dan Supreme Biotechnologies Ltd (Selandia Baru). Perusahaan nasional Diatoms Cell Energy akan menampung semua hasil penelitian dan mendanai peningkatan teknologinya.

Perusahaan ini menyediakan dua lokasi budidaya, yaitu di Cilamaya (Sukabumi) dan di Pulau Natuna (Kepulauan Riau), dikaitkan dengan suplai CO2 dari hasil samping kilang minyak.

Dalam program kerja sama itu, SCRC-IPB menargetkan tahun 2011 melakukan studi kelayakan dan uji penggunaan pada kendaraan bermotor, dan dalam lima tahun mendirikan pabrik percontohan.

[ Kembali ]

Intervensi Asing di Sektor Energi Terkuak

IBRD Kucurkan 420 Juta Dollar AS
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

Jakarta, Kompas - Adanya intervensi asing dalam pengelolaan energi nasional terus terkuak dalam pemanggilan saksi-saksi oleh Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat.

Ichsanuddin Noorsy, sebagai saksi ahli di Panitia Angket, Kamis (4/9), menunjukkan sejumlah dokumen yang semakin menguatkan adanya intervensi asing tersebut.

Dokumen itu, antara lain, semacam radiogram (teletex) dari Washington kepada Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia J Stapleton Roy untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan seperti tertulis di dokumen itu.

Dalam dokumen tersebut, antara lain, tertulis: naskah RUU Minyak dan Gas diharapkan dikaji ulang parlemen Indonesia pada bulan Januari. Dokumen itu dikategorikan confidential yang ditindih cap unclassified.

Ichsanuddin juga menyerahkan dokumen laporan Bank Dunia berjudul Proyek Energi Indonesia yang disiapkan 17 November 2000. Dalam dokumen itu tertulis nilai proyek 730 juta dollar AS. Sebanyak 310 juta dollar AS merupakan dana pemerintah dan 420 juta dollar AS di antaranya dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD).

Sebelumnya, Panitia Angket juga mendapatkan data bahwa USAID, lembaga swadaya AS, mengucurkan dana 21 juta dollar AS untuk asistensi revisi UU Migas. ”Diliberalkannya industri migas itu, selain tertuang di letter of intent, juga tertuang di ADB (Bank Pembangunan Asia), USAID, dan Bank Dunia,” ucap Ichsanuddin.

Menurut Ichsanuddin, yang paling diuntungkan dari adanya liberalisasi migas adalah kartel industri migas.

Panitia Angket menyambut gembira adanya dokumen-dokumen tersebut. ”Dokumen dan penjelasannya luar biasa,” ucap Effendy Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa.

Eva Kusuma Sundari dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bahkan mengaku sangat kaget dengan adanya dokumen-dokumen tersebut.

Menurut Dradjad Wibowo dari Fraksi Partai Amanat Nasional, dokumen-dokumen ini semakin mengindikasikan kuat bahwa pembuatan UU Migas sarat intervensi asing.

Panggil pejabat terkait

Untuk menelusuri sejauh mana intervensi asing ini memengaruhi pengambil kebijakan, Ichsanuddin merekomendasikan Panitia Angket memanggil semua pejabat yang terkait.

”Yang mestinya dipanggil, misalnya, Purnomo (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral). Bagaimana undang-undang itu dibuat? Bagaimana Purnomo menggagas pencabutan subsidi yang ternyata cocok dengan dokumen tadi yang memerintahkan pencabutan subsidi?” kata Ichsanuddin.

Ia juga menyinggung Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 yang mengatakan subsidi harus dikurangi bertahap.

”Panggil juga Bappenas, Sri Mulyani kenapa menggagas pencabutan subsidi?” ujarnya. (SUT)

[ Kembali ]

Kamis, 04 September 2008

Berorientasi Ekspor, Kebutuhan Rakyat Tidak Dipenuhi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008

Jakarta, Kompas - Pengelolaan sumber daya energi dan pangan telah menjauhkan pemenuhan kebutuhan rakyat. Pengelolaan sumber daya energi seperti minyak, gas, dan batu bara malah berorientasi ekspor.

Seperti kasus terakhir, gas alam cair LNG Tangguh sudah dijual ke China sebelum berproduksi. Padahal, masyarakat dan industri dalam negeri dalam keadaan kekurangan suplai gas.

”Sejauh ini tidak ada politik energi untuk memenuhi kebutuhan rakyat,” kata Koordinator Eksekutif Nasional Walhi Berry N Furqon kepada wartawan di Jakarta, Rabu (3/9). Beberapa lembaga swadaya masyarakat menyikapi keterlibatan asing dalam penyusunan Undang-Undang (UU) Migas, antara lain Walhi, Jatam, Koalisi Anti Utang (KAU), Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Kontra Privatisasi (Alkatras), dan Lingkar Madani Indonesia (Lima).

Di sektor batu bara, 70 persen produk diekspor, 30 persen untuk di dalam negeri. ”Bandingkan dengan China, walau punya batu bara banyak, tetap mencari dari negara lain,” kata Koordinator Jatam Siti Maemunah.

Dikuasai asing

Semua pembicara menyatakan, salah satu akar persoalan ketidakmandirian energi primer dan sekunder di Indonesia adalah keterlibatan asing. Isi UU Migas memungkinkan keterlibatan asing dari hulu hingga hilir.

Korporasi asing boleh menguasai sumber energi hingga investasi di sektor hilir, seperti memiliki stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Bukti adanya keterlibatan asing sudah ada sejak mulai penyusunan UU.

Ray Rangkuti dari Lima mengatakan, keterlibatan asing dalam penyusunan UU tertentu, yang tak terkait kedaulatan bangsa, masih bisa dikompromikan. Namun, bila mengatur isi, mengubah ideologi, dan mengatur arah pengelolaan sumber daya, hal itu tidak boleh.

”Mengejutkan, Undang-Undang yang menentukan masa depan rakyat, seperti UU Migas, ternyata melibatkan asing demi pro-pasar dan antisubsidi,” katanya. Sekitar empat juta dollar AS dikucurkan USAID untuk reformasi sektor energi Indonesia.

Bersama Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, USAID mengeluarkan dana besar pembuatan draf UU Migas tahun 2000 dengan studinya. ”Studi itu merekomendasikan semangat kompetisi, berorientasi pasar, menghilangkan intervensi pemerintah, termasuk mengurangi subsidi,” kata Ketua KAU Dani Setiawan. Kenaikan harga BBM tak lepas dari liberalisasi tersebut.

Menurut Siti Maemunah, selama pemerintah tunduk total dengan kemauan asing, di baliknya ada kekuatan modal asing, kedaulatan energi dan pangan, tidak mungkin tercapai.

Hingga kini, selain UU Migas, UU Sumber Daya Air dan UU Penanaman Modal juga diduga. (GSA)

[ Kembali ]

Selesaikan Masalah Energi Secara Menyeluruh

Fokus
Diunduh dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta | Jum'at, 29 Agt 2008
by : Vien Dimyati

Kenaikan harga elpiji telah menggelisahkan masyarakat. Antara lain menyebabkan harga eceran di konsumen melonjak melebihi ketetapan Pertamina. Di beberapa tempat elpiji menghilang dan menyebabkan antrian.

Pengamat perminyakan dan gas, Kurtubi menilai dampak buruk itu terjadi akibat ketidaktegasan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) yang seharusnya dapat mengontrol harga elpiji dari Pertamina. "Seharusnya, Menteri ESDM Purnomo Yusgiyantoro dapat mengambil alih dan berwenang menentukan," tutur Kurtubi kepada Jurnal Nasional, di Jakarta, (28/8).

Kurtubi menduga, dengan diserahkannya Pertamina sebagai pengontrol kebijakan dan penentu harga tunggal, itu adalah bentuk cuci tangan Menteri ESDM agar tidak disalahkan oleh masyarakat luas ketika harga gas naik. "Bisa jadi, Menteri ESDM cuci tangan. Biar kemudian Pertamina yang disalahkan karena telah menaikkan harga," katanya.

Lebih lanjut dijelaskan, jika tata niaga suatu komoditas dilakukan oleh pelaku tunggal maka seharusnya harga ditetapkan bersama. Bukan oleh pelaku usaha, dalam hal ini Pertamina. "Untuk itu, harus cepat diambil alih," sarannya lagi.

Untuk itu, Kurtubi sekali lagi meminta keterlibatan departemen terkait untuk ikut campur dalam menentukan harga yang tata niaganya dipegang oleh pemain tunggal. "Harus ada keterbukaan mengenai harga pokok dan kejelasan harga jual elpiji oleh Pertamina," tegasnya.

Terlebih, lanjut Kurtubi, menaikkan harga elpiji menjelang puasa dan hari raya adalah keputusan yang tak tepat, karena gas elpiji saat ini merupakan kebutuhan orang banyak. Hal ini juga dapat menggangu industri yang mengandalkan gas elpiji.

Sebelumnya, Pertamina telah menaikkan harga jual elpiji 12 kilogramdinaikkan 9,5% mulai pada Senin (25/8) lalu. Harga jual elpiji kemasan 12 kilogram naik dari Rp 63.000 jadi Rp69.000.Kenaikan direncanakan akan bertahap Rp500 per kilogram setiap bulan hingga mencapai harga keekonomian Rp11.400 per kilogram.

Prof. Dr Widjajono Partiwidagdo, Guru Besar Perminyakan ITB mengatakan kenaikan harga gas elpiji wajar karena harga internasional memang melonjak. Makanya, dia berpendapat Pertamina bisa dimengerti kalau menaikan haega elpiji. Alasannya Pertamina sebagai perusahan tidak bertanggung jawab untuk mennsubsidi orang miskin.


Tapi dia mengakui, soal kenaikan barang yang dibutuhkan orang banyak, seperti elpiji memang harus dipikirkan masak-masak. Dalam menangani masalah ini ada Dewan Energi Nasional, tim khusus yang bisa tangani energi. "Jadi tidak perlu tim khusus lagi karena kita sudah punya dewan yang dapat menangani masalah ini. Kalau dewan energinya tidak beres salahin saja dewannya itu, " katanya. Semua permasalahan energi itu harus diselesaikan secara menyeluruh.
Irfan Fikri/ Vien Dimyanti

[ Kembali ]

Selasa, 26 Agustus 2008

Dokumen "Patgulipat" Migas Ditemukan

Angket BBM
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Penasihat Komite Penyelamat Kekayaan Negara (KPK-N) Amien Rais (tengah) memerhatikan pemaparan anggota kelompok kerja KPK-N, Marwan Batubara, saat memberikan keterangan terkait keberadaan Panitia Hak Angket Kenaikan Harga BBM di Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/8).

Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 26 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Seiring dengan bergulirnya hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat, berbagai dugaan penyimpangan tata kelola minyak dan gas terus terungkap. Komite Penyelamat Kekayaan Negara juga menemukan dokumen yang mengindikasikan ”patgulipat” antara pemerintah dan perusahaan minyak.

Kelompok Kerja KPK-N Marwan Batubara dan Adhie M Massardi, yang didampingi Penasihat KPK-N Amien Rais, menyerahkan dokumen itu kepada Tjatur Sapto Edy, anggota Panitia Angket dari Fraksi Partai Amanat Nasional, di Gedung DPR.

”Sepotong dokumen ini merupakan berita mengejutkan. Bagaimana mungkin dengan permainan patgulipat negara bisa dirugikan hampir satu triliun rupiah. Ini masih gunung es, barangkali di bawahnya masih banyak lagi,” kata Amien dalam jumpa pers, Senin (25/8).

KPK-N berharap Panitia Angket BBM DPR dapat menyelidiki lebih jauh. Bagi Amien, Panitia Angket DPR merupakan pintu gerbang kecil untuk membuka dunia BBM yang sekarang banyak dikuasai mafioso dan predator. Apabila hal ini bisa dipecahkan, Indonesia diharapkan bisa menjadi negara yang berdaulat di bidang energi.

KPK-N yang dideklarasikan 28 Juli 2008 adalah aliansi berbagai elemen masyarakat yang memiliki kepedulian dan keprihatinan atas pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan negara.

Surat Exxon

Dokumen yang diserahkan KPK-N, pertama, adalah surat ExxonMobil kepada Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono tertanggal 9 Mei 2008. Surat Exxon itu isinya meminta penundaan pemberlakuan Domestic Market Obligation (DMO) Holiday.

Dokumen kedua adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 02 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Minyak dan Gas Bumi Dalam Negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang ditetapkan Purnomo, 9 Februari 2008.

Peraturan ini dijadikan dasar hukum oleh Exxon untuk penundaan pemberlakuan DMO Holiday. Namun, informasi yang diperoleh KPK-N, peraturan ini juga dilahirkan untuk melayani kepentingan Exxon. ”Kerugian kita sekitar 82 juta dollar AS per tahun atau sekitar Rp 760 miliar per tahun akibat adanya perubahan ini,” kata Marwan.

Menurut Marwan, surat ini sesungguhnya merupakan persoalan bisnis. Namun, anehnya, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro turut menandatangani sehingga terkesan menjadikan pemerintah sebagai backing kepentingan Exxon. ”Ini merendahkan martabat pemerintah,” ucapnya. (SUT)


[ Kembali ]

Kamis, 07 Agustus 2008

Gerakan Nasional Hemat Energi

by : Anas Urbaningrum
Dikutip dari Kolom Sudut Pandang, Harian Jurnal Nasional, Jakarta Jum'at, 02 Mei 2008.

Presiden SBY mengajak kita hemat energi. Seruan yang penting dan kontekstual. Bukan saja lantaran bangsa kita tergolong boros dalam menggunakan energi, tetapi juga karena faktor kenaikan harga minyak bumi yang melangit. Ketahanan energi kita benar-benar tengah diuji. Sebagai bangsa, kita tengah menghadapi situasi amat sulit, yang belum pernah ada preseden sebelumnya.
Sebagai bangsa yang boros energi, seruan Presiden tentu tidak mungkin mengubah keadaan seketika. Mengubah tradisi boros menjadi hemat, jelas butuh waktu. Sama halnya mengubah tradisi minyak tanah menjadi elpiji. Maknanya, bukan pekerjaan yang gampang dan langsung berhasil.
Bagaimana memulainya secara efektif? Tentu saja butuh kampanye nasional untuk membangunkan kesadaran publik. Cukupkah dengan kampanye? Tentu tidak memadai. Dalam konstruksi budaya semi-paternalistik, dihajatkan contoh nyata dari atas. Dari atas dimaknai sebagai contoh dari para pemimpin dan aparat pemerintah. Tidaklah mungkin kita berharap dimulai dari kesadaran rakyat banyak. Lazimnya, rakyat menunggu contoh sebagai turbin penggerak awal.
Karena itu, sangat baik jika pemerintah dan pemerintah daerah mulai dengan contoh-contoh sederhana yang bisa dilakukan. Misalnya: gerakan AC 24 derajat, gerakan matikan lampu tepat waktu, efisiensi kendaraan dinas, dan sebagainya. Kalau semua kantor Pemerintah mamatok AC 24 derajat saja, berapa penghematan yang bisa dilakukan? Kalau lampu-lampu di kantor-kantor pemerintah dan tempat-tempat umum dimatikan pada waktu yang tepat, berapa yang bisa kita hemat? Kalau perlu, di setiap kantor dan tempat-tempat umum, ada petugas khusus yang tugasnya untuk urusan itu. Toh, stok personalia di jajaran birokrasi sangat cukup.
Angka yang bisa dihemat memang tidak bisa menghadapi amukan harga minyak bumi. Tetapi makna sebagai contoh awal gerakan, jelas sangat berarti. Rakyat akan punya rujukan yang nyata. Rakyat akan punya teladan yang terang. Karena itu, rakyat punya alasan yang kuat untuk ikut dalam irama hemat energi.
Jika tidak dimulai secara nyata dari para pemimpin dan kantor-kantor pemerintah dan pemerintah daerah, seruan yang sangat penting itu akan sukar menjadi gerakan nasional. Seruan akan tetap menjadi seruan. Karena itu, waktunya sekarang para pembantu Presiden untuk menerjemahkannya secera teknis dan mengimplementasikannya. Juga oleh para kepala daerah dan jajaran birokrasi lokal.
Maknanya, tinggal kita laksanakan saja. Jangan sampai SBY menyeru kedua kali, untuk substansi yang sama. Kecuali kita mau bergelar telat mikir dan telat gerak. Mari, bergeraklah sekarang juga! Wallahu a`lam

[Kembali]

Utamakan Kepastian Hukum Panas Bumi

Dikutip dari Rubrik Eksplusif, di Harian Jurnal Nasional. Jakarta Kamis, 22 Nov 2007
Sosoknya begitu ramah dan bersahabat. Saat berbicara pun suaranya begitu lembut namun tegas. Siapa yang menyangka jika pria berambut keriting itu, ternyata murni turunan suku Batak, Sumatra Utara. Berikut perbincangan Jurnal Nasional bersama Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Alimin Ginting, di salah satu pusat pembelanjaan di kawasan Senayan, pertengahan bulan ini.

Kapan tepatnya energi panas bumi mulai dikenal di Indonesia?
Coba kita lihat sedikit ke belakang. Perkembangan panas bumi di Indonesia sudah dimulai sekitar tahun 1926, saat pemerintah Hindia Belanda melakukan eksplorasi di Indonesia dan memanggil ahli dari negaranya. Selanjutnya dilakukan proyek pengeboran dangkal di Kamojang, Jawa Barat. Namun karena situasi tertentu (malaise ekonomi) proyek tersebut tidak berlanjut.
Kemudian pada tahun 1970-an pengembangan sumber panas bumi Kamojang terpikir kembali oleh Pemerintah ( bekerja sama dengan Selandia Baru). Situasi pada saat itu sangat mendukung perkembangannya karena harga energi fosil semakin meningkat dan dianggap perlu melakukan diversifikasi sumber-sumber energi primer.
Sekarang situasi yang ada kelihatannya mendikte kita harus memikirkan pengembangan energi terbarukan terutama panas bumi yang potensinya cukup besar tadi. Terutama setelah harga minyak mentah November ini memecahkan rekornya, hingga mencapai US$ 98 per barelnya. Kini, penggunaan energi alternatif salah satunya energi panas bumi seakan-akan menjadi tren dunia.

Mengapa panas bumi dan tidak lainnya?
Saya kira ada tiga alasan mengapa Indonesia harus mengutamakan pengembangan panas buminya. Pertama, karena potensi sumber panas bumi di Indonesia sangat besar. Indonesia memiliki potensi panas bumi mencapai 27,000 Megawatt (MW) atau 40 persen dari cadangan panas bumi dunia. Setara dengan delapan miliar barel minyak bumi saat ini, terlebih lagi energi ini tersebar di sepanjang jalur vulkanik (gunung berapi).
Sehingga, bisa dikatakan Indonesia merupakan surganya panas bumi. Berbeda dengan sumber energi lainnya seperti minyak bumi yang jumlahnya tidak lebih dari satu persen potensial yang dimiliki dunia dan juga sangat dibutuhkan sebagai penghasil devisa..
Mengingat energi tersebut tidak bisa diekspor dan merupakan energi setempat yang dapat digunakan oleh daerah penghasilnya, maka secara tidak langsung pengolahan energi tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonominya.
Kedua, dengan harga minyak yang melambung seperti sekarang ini yang sudah melampaui US$90 per barelnya, pengembangan panas bumi saya kira sudah merupakan pemikiran utama. Kita yakin sekali bahwa harga energi panas bumi akan lebih murah dibandingkan bahan bakar minyak bumi yang kebanyakan di Indonesia dikonsumsi untuk pembangkit listrik.
Untuk itu mungkin perlu dikaji berapa banyak energi panas bumi dapat membantu penurunan subsidi terhadap minyak untuk bahan bakar pembangkit listrik di Indonesia, kalau energi panas bumi dijadikan substitusi bahan bakar minyak untuk listrik.
Dan yang ketiga, panas bumi merupakan energi alternatif yang sifatnya jauh lebih bersih sehingga tidak akan mencemari lingkungan seperti halnya bahan bakar fosil dan juga mempunyai sifat terbarukan.
Sekarang pemanasan global telah menjadi kekhawatiran oleh semua pihak di muka bumi ini, sampai-sampai masalah ini telah menjadi agenda pembicaraan petinggi-petinggi United Nation ( PBB). Petinggi-petinggi negara maju maupun sedang berkembang seperti Indonesia juga ikut terlibat.
Kita tahu bahwa COP-13 UNFCCC akan diadakan di Bali pada awal Desember mendatang. Jadi begitu pentingnya sekarang mengenai penurunan emisi gas rumah kaca (green house gas) ini. Dan panas bumi sebagai salah satu energi yang memiliki sifat rendah emisi rumah kaca bila dibandingkan dengan sumber energi fosil lainnya, berpotensi untuk lebih utama dikembangkan. Itulah maka kita selalu katakan bahwa Indonesia dapat berperan, melalui pengembangan panas buminya.

Sebenarnya, berapa banyak cadangan yang dimiliki Indonesia?
Saat ini sudah ditemukan 256 lokasi dengan potensi yang telah disebutkan tadi yaitu 27,000 MW yang tersebar di seluruh jalur vulkanik di Indonesia. Dari 256 lokasi panas bumi tersebut 18 lokasi telah dieksplorasi bahkan sudah dikembangkan dengan total produksi saat ini sekitar 970 MW .
Dari 18 Wilayah Kerja yang telah dieksplorasi dan dikembangkan tersebut masih ada kurang lebih total cadangan terbukti sekitar 2300 MW yang telah siap dikembangkan. Setidaknya 15 di antara kontrak area tersebut dikuasai oleh Pertamina dan tiga lainnya milik PLN dan Koperasi.
Kebanyakan sumur tersebut tersebar di Sumatra dan Jawa. Jika diperinci potensi maka di kawasan Jawa hingga Bali ada sekitar 9,250 MW, di Sumatra sekitar 13,800 MW , Di Sulawesi sekitar 1,900 MW, di Irian sekitar 50 MW dan di kepulauan lain sekitar 2000 MW. seperti , Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Maluku dan lainnya.

Apa tanggapan Anda tentang pernyataan segelintir pengamat, bahwa perkembangan energi alternatif di Indonesia sangat lambat?
Indonesia itu kaya akan energi alternatif, bahkan untuk pembangkit listrik saja jumlahnya sangat banyak. Antara lain, ada energi alternatif menggunakan angin, solar, air, panas bumi, biofuel, bimass , biogas, bioethanol yang bisa dijadikan bahan bakar .
Tetapi karena begitu banyaknya, kadang membuat pemerintah kesulitan untuk memutuskan energi alternatif mana yang terlebih dulu dikembangkan. Karena yang mempengaruhi pengembangannya tidak hanya berkaitan dengan keberadaan sumber energi primernya itu sendiri.
Tetapi juga terhadap harga energi yang dihasilkan, di mana harga energi terbarukan selalu dianggap mahal. Kenapa demikian karena masalah eksternalitasnya ( bersih lingkungan dan terbarukan ) belum dianggap sebagai komponen harga di kita. Mungkin kondisi inilah yang menjadi dasar pernyataan tersebut.
Meski demikian, saya sebenarnya beranggapan tidak ada kata terlambat. Karena yang terpenting adalah bagaimana kita bekerja keras ke depan untuk mengembangkan sumber daya panas bumi yang potensinya cukup besar ini. Karena segala sesuatunya sangat tergantung pada situasi yang dihadapi.
Kalau pun memang dirasa terlambat maka sekarang mari kita percepat sehingga keterlambatannya bisa dibayar dengan percepatan yang dilakukan. Tapi, untuk mempercepat pengembangannya. Tentunya juga perlu perangkat pengembangan yang sudah siap, termasuk political will Pemerintah.

Energi panas bumi dinilai tidak cukup pantas untuk segera dikembangkan. Alasannya antara lain karena tidak bernilai ekonomi, menurut Anda?
Tiap orang punya pemikiran tersendiri sesuai dengan pemahaman yang mereka miliki dan saya kira itu wajar saja. Oleh karena itu pemikiran yang demikian menjadi tantangan bagi kita semua bagaimana pemikiran yang miring tersebut menjadi positif karena memang sesungguhnya panas bumi tersebut sangat positif dan dapat bermanfaat bagi kita semua.
Ada benarnya pepatah yang mengatakan " karena tak kenal maka tak sayang". Tetapi dari sisi bisnis saya kira wajar saja kalau segelintir pembisnis beranggapan bahwa bisnis panas bumi belum dapat memberi keuntungan seperti bisnis energi fosil lainnya.
Karena memang benar panas bumi tidak bisa diekspor seperti bahan-bahan bakar fosil lainnya, sehingga tidak bisa menjadi harga pasar global. Tetapi di sanalah keuntungannya, dengan dikonsumsi secara domestik maka harga panas bumi tidak akan terpengaruh harga global, transportasi, musim dan lainnya.
Lalu, menanggapi teknologinya yang dinilai mahal saya rasa di masa mendatang pasti akan ada perubahan karena teknologi itu tidak pernah stabil selalu ada penemuan baru.
Pada umumnya tanggapan miring tersebut menurut pantauan saya adalah bukan terhadap energi panas buminya itu sendiri, melainkan terhadap kondisi bisnisnya dan harganya yang dianggap tidak menguntungkan. Saya yakin Pemerintah bersama stakeholder lainnya akan berjuang memperbaiki kondisi tersebut.
Namun perlu diingat bahwa energi panas bumi juga bebas dari residu. Sehingga Indonesia tidak lagi perlu mengeluarkan banyak dana lagi hanya untuk mengentaskan masalah pencemaran lingkungan seperti yang terjadi dengan pengembangan bahan bakar fosil.

Lalu, ke arah mana pengembangan energi panas bumi Indonesia?
Untuk sementara ini pengembangan sumber energi panas bumi memang baru bisa diaplikasikan untuk penyediaan listrik PLN untuk kepentingan umum. Diharapkan ke depan pengembangan panas bumi dapat membantu off taker, di mana sekarang ini dipegang penuh oleh PLN.
Harapannya, PLN tidak perlu terlalu banyak mengonsumsi bahan bakar minyak sebagai sumber pembangkit energinya, terlebih lagi energi fosil ini dari waktu ke waktu akan semakin berkurang. Pendek kata ke depan semoga panas bumi kita ini menjadi energi pilihan dari sisi energi terbarukan dan bersih lingkungan.
Siapa tahu pula di masa mendatang akan ada perkembangan baru, misalnya ada kemungkinannya energi ini nantinya dapat dimanfaatkan lebih luas lagi. Semua itu bergantung dari perkembangan teknologi dunia nantinya.
Bisa saja di masa mendatang karena masyarakat dunia sudah terbiasa dengan panas bumi yang produk akhirnya berupa listrik, akan mendorong dikembangkan kendaraan listrik. Apalagi saat ini sudah ada beberapa mobil yang mengenakan baterai cas, meski baru bisa mengakomodasikan dua penumpangnya.
Jadi, bisa saja jika sekarang banyak pom bensin ataupun stasiun gas, nantinya akan tergantikan dengan stasiun cas baterai yang bersumber dari pemanfaatan panas bumi. Jadi tiap kota ada stasiunnya, kalau ke Bandung tinggal cas, nanti lanjut lagi di Semarang.

Bagaimana perkembangan panas bumi di negara lainnya?
Perkembangan dari negara lain jauh lebih cepat dibandingkan dengan Indonesia, ambil saja contohnya Filipina. Akan tetapi, kecepatan itu tidak lebih disebabkan karena keterpaksaan atau keharusan karena mereka tidak memiliki sumber energi fosil yang melimpah dan energi primer lainnya sangat minim.
Tidak seperti Indonesia yang cukup banyak memiliki alternatif energi, Filipina seolah olah hanya memiliki panas bumi. Dari pada membeli minyak mentah yang harganya semakin melangit, lebih baik memproduksi panas bumi sendiri. Begitu pula dengan negara-negara lainnya seperti Islandia yang energi listriknya hampir seluruhnya dari energi panas bumi.
Negara lainnya yang sudah memanfaatkan panas buminya dari awal adalah Italia dengan lapangan Larderello (sejak tahun 1904), Amerika Serikat, Selandia Baru dan sekarang Australia yang sangat intensif mengeksplorasi sumber panas buminya.
Padahal, Australia sesungguhnya tidak memiliki sumber panas bumi. Sumber tambang panas bumi mereka berasal dari lapisan bebatuan yang sangat panas. Dengan menggunakan teknologi hot dry rock, mereka menyiptakan rekahan pada bebatuan yang panas tersebut secara mekanika. Sehingga mempunyai permeabilitas yang cukup untuk dikembangkan.
Rekahan itu kemudian bertujuan sebagai tempat penyimpanan air yang diinjeksikan tersebut. Akibat bebatuan yang panas, maka airnya akan mencapai titik didih dan berubah menjadi uap yang akan yang akan disalurkan untuk memutar turbin.

Adakah pemerintah mendorong perkembangan panas bumi?
Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah berusaha membantu perkembangan industri panas bumi. Beberapa perangkat hukum yang telah diluncurkan adalah Keppres 22/1981 & Keppres 45/1991, Keppres 49/1992, KMK 766/ 1992 yang kesemuanya untuk existing contract.
Sedangkan untuk pengembangan daerah baru, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang RI No.27 Tahun 2003, Perpres 5/2006, PP panas bumi No.59/2007. Selain itu, pemerintah juga memiliki road map tentang panas bumi hingga tahun 2025 nanti.
Ditargetkan pada tahun itu, Indonesia sudah memanfaatkan 9.500 MW panas buminya. Sementara ini, kapasitas panas bumi yang sudah dimanfaatkan baru 970 MW atau sekitar 3 persen dari potensi yang ada.
Akan tetapi, agar pengembangan panas bumi ini bertambah kondusif maka pemerintah perlu melakukan dua hal penting. Yakni, memberikan kepastian hukum bagi para investor sehingga mereka bisa berinvestasi dengan rasa aman.
Lalu, komersialitas harga yang dapat mencapai tahap keekonomisan yang dinginkan pengembang dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Karena, jujur saja saat ini pemerintah belum memberikan harga yang cukup menarik untuk panas bumi.

Lalu, langkah apa yang harus dilakukan pemerintah?
Yang terpenting pemerintah melaksanakan lelang secara terbuka dan transparan dengan mekanisme yang jelas. Lalu, dari harga penawaran tersebut nanti kita bisa lihat harga yang sesungguhnya diinginkan oleh pengembang.
Salah satu perangkat untuk melelang daerah baru sudah selesai yaitu PP 59/2007. Namun ada PP lainnya yang juga harus segera diselaikan yakni peraturan pemerintah tentang jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dengan demikian pelelangan dan penawaran dapat berjalan lancar. Yang lainnya adalah seperti dikatakan tadi bagaimana agar bisnis panas bumi ini dapat dianggap kondusif dan tingkat keekonomisannya tercapai.
Kemudian, pemerintah diharapkan dapat membentuk kebijakan yang dapat membuat proyek panas bumi ini dapat dikelola secara terpadu dari awal eksplorasi sampai pembangunan pembangkit listriknya. Tidak lain untuk meningkatkan efisiensi dan keterjaminan pemanfaatan uap yang telah ditemukan. Siapa tahu ada celah dari Undang-undang kelistrikan baru yang akan dikeluarkan nantinya.
Suci DH

[Kembali]

Perlu Manajemen Energi

PLN Diminta Membuat Rencana Pemadaman Jangka Panjang
Dikutip dari Harian KOMPAS, Kamis, 7 Agustus 2008.


Jakarta, Kompas - Pemerintah meminta pengusaha dan pekerja yang telah mengalihkan waktu kerja ke akhir pekan segera memberi masukan. Berbagai hal positif dan negatif yang muncul terkait implementasi regulasi ini akan dibutuhkan dalam menyusun konsep manajemen energi nasional yang lebih komprehensif.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno menyampaikan hal ini saat berdialog dengan forum bipartit PT Panasonic Manufacturing Indonesia di Jakarta Timur, Rabu (6/8).
Aparat pemerintah daerah harus menampung masukan pengusaha dan pekerja untuk disampaikan ke tim kecil yang dibentuk kepala daerah setempat.
Tim kecil tersebut selanjutnya wajib melaporkannya kepada Mennakertrans, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Menteri Negara BUMN.
”Umpan balik dari pengusaha dan pekerja ke pemerintah penting untuk membenahi manajemen energi nasional. Masukan sangat perlu untuk menyusun konsep manajemen energi yang lebih komprehensif,” kata Erman Suparno.

Proses yang berat
Menurut Erman, sedikitnya 20 persen dari 50.000-an perusahaan besar saat ini sudah mulai mengalihkan waktu kerja ke akhir pekan selama dua hari dalam sebulan. Sisanya diharapkan segera menyusul secara bertahap sampai akhir tahun ini.
Ketua Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Energi dan Elektronik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (F-SPMI) Kelompok Panasonic Gobel Ali Arifin Tanjung mengatakan, pekerja dan manajemen telah menyusun waktu kerja selama setahun ke depan.
Mereka meminta pemerintah mendesak PLN mengumumkan jadwal pemadaman listrik sebelum surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri yang mengatur libur nasional tahun depan diterbitkan.
”Jadi, kami bisa lebih mudah mengatur jadwal kerja tahun depan,” kata Arifin.
Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia PT Panasonic Manufacturing Indonesia TA Moetawakil menambahkan, ”Rencana pemadaman setahun sangat membantu kami untuk menyesuaikan jadwal penerimaan bahan baku, produksi, dan pengiriman produk setahun ke depan.”
Manajemen dan serikat pekerja Panasonic sepakat mengalihkan hari kerja dari Selasa dan Jumat ke dua hari Sabtu. Artinya, dua minggu sekali dalam sebulan, mereka bekerja di hari Sabtu.
Selain itu, produsen elektronik tersebut juga mengurangi operasional lampu penerangan di pergudangan dan jalur produksi untuk penghematan.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Depnakertrans Myra Maria Hanartani mengatakan, pemerintah menyadari manajemen dan pekerja membutuhkan proses yang berat dalam masa transisi pengalihan waktu kerja. ”Kami berharap proses ini bisa berjalan kondusif tanpa merugikan pengusaha dan pekerja,” ujarnya. (ham)
[Kembali]

Senin, 04 Agustus 2008

Manajemen Energi Karut-Marut

EKSPLORASI Drilling
by : M. Yamin Panca Setia
Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Kamis, 24 April 2008

Harga minyak bumi yang terus melambung hingga hampir menyentuh US$120 per barel, membuat Indonesia harus pandai menghemat penggunaan energi. Edison Sirait, Ketua Komite Indonesia untuk Pengawasan dan Penghematan Energi (Kipper) mengatakan, sebenarnya sudah ada manajemen penghematan energi untuk mengurangi ketergantungan energi yang bersumber dari fosil. "Tapi, manajemen energi kita amburadul," ujarnya kepada Jurnal Nasional akhir pekan lalu di Jakarta.
Menurut dia, konsep manajemen penghematan energi yang diterapkan saat ini sangat lemah. Edison menunjuk ketidakjelasan data konsumsi bahan bakar minyak (BBM), baik subsidi maupun nonsubsidi, sebagai contoh. "Berapa sih konsumsi BBM di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten? Berapa sih konsumsi solar atau premium bersubdisi, dan yang nonsubsidi. Berapa banyak BBM yang bersubdisi, dan yang tidak bersubsidi yang dibeli pabrik atau industri. Pertamina tidak pernah menyajikan itu," katanya.
Dia juga menilai, asumsi anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBN-P), yang menetapkan US$94 per barel harus dievaluasi. Pasalnya, harga minyak dunia sangat fluktuatif. Kalau tidak diubah, pemerintah terpaksa harus terus menambah anggaran subsidi BBM termasuk untuk PT Perusahaan Listrik Negara, yang masih membutuhkan sekitar 9 juta kilo liter per tahun. "Itu nilainya sangat signifikan."
Pada 2007, realisasi total subsidi untuk BBM dan listrik membengkak sebesar Rp46,5 triliun ketika harga minyak mentah dunia menembus US$100 per barel. Subsidi listrik membengkak Rp13,9 triliun menjadi Rp43,3 triliun. Pembangkit milik perusahaan setrum negara ini masih banyak yang menggunakan BBM.
Hampir semua pembangkit listrik tenaga disel yang dioperasikan masih menggunakan solar (high speed diesel) yang harganya mencapai Rp8.000 per liter. Di banyak negara, pengoperasian pembangkit semacam ini sudah menggunakan marine fuel oil (MFO) yang harga hanya sekitar Rp4.000.
Adapun Direktur Energi, Migas, dan Pertambangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Montty Girianna mengatakan, lembaganya tengah mendorong agenda kesinambungan energi lewat swasembada minyak (self sufficiency of oil) dengan meningkatkan produksi (lifting), atau pun investasi.Ketergantungan pada BBM yang portofolio dalam konsumsi energi mencapai 54-60 persen juga akan dikurangi.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Rifky Ibrahim menilai, manajemen penghematan energi mutlak dilakukan. Alasannya, total realisasi subsidi energi 2007 mencapai Rp130,9 triliun, atau 17,4 persen dari total APBN, Rp754,2 triliun.Menurut dia, dulu sudah ada yang namanya kebijakan umum bidang energi. Namun, tidak ada UU yang mendukungnya. Akibatnya, birokrasi tidak dapat menjalankannya.
"Sekarang sudah ada UU Energi, sudah diratifikasi DPR, tetapi belum juga terbentuk koordinator yang katanya akan di bawah Presiden dan Wakil Presiden. Tapi, sampai sekarang belum ada," kata Rifki. Dia menilai, manajemen energi untuk menekan dampak negatif melonjaknya harga minyak tidak cukup hanya dilakukan dengan efisiensi penggunaan BBM. Namun, pemerintah harus serius merealisasikan diversifikasi energi terbarukan yang bersumber nonfosil seperti air, panas bumi dan nabati.
Sebenarnya, kata dia, sudah ada kebijakan, studi maupun kampanye pengembangan energi terbarukan. "Tapi, itu masih sebatas wacana saja," katanya. Sejumlah peraturan yang terkait dengan diversifikasi energi, kata Rifki, belum membumi. "Semua aturan dan UU yang dibuat tidak aplikatif."
Adapun Direktur Operasional PT Energi Manajemen Indonesia Yudianto mengungkapkan, Indonesia adalah negara yang paling boros energi di kawasan Asia. Survei yang dilakukan lembaganya menunjukkan, pemborosan energi tak hanya terjadi masyarakat, tapi juga untuk kelompok Industri. Tingkat pemborosan energi industri tekstil Indonesia mencapai 10-15 persen di atas industri tekstil di India dan Vietnam.
"Semua pihak perlu mengambil berbagai langkah efektif untuk menghentikan kebiasaan yang dinilai cenderung boros menggunakan energi dalam kehidupan sehari-hari," katanya.
M. Yamin Panca Setia

[Kembali]

Kamis, 31 Juli 2008

Masyarakat Harus Beralih dari Zona Nyaman

Dikutip dari Harian Jurnal Nasional Rubrik Fokus Hari Ini, Jakarta Senin, 14 Jul 2008, halaman 01.

Krisis listrik yang terjadi akhir-akhir ini harus menjadi momentum bagi para konsumen listik untuk beralih dari zona nyaman (comfort zone) yang dinikmatinya selama ini. Krisis listrik juga harus menjadi kesempatan positif bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk merasa prihatin dan membangun spirit kebersamaan.
"Namun, Saya prihatin tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk menderita. Tapi kita harus mengambil hikmahnya, semacam blessing in disquise, dari krisis yang kita hadapi saat ini. Kenikmatan berbagi harus menjadi spirit bersama." Hal itu dikemukakan pengamat kelistrikan Tri Mumpuni dalam sebuah diskusi bertajuk "Krisis Listrik dan Nasib Dunia Industri, di Jakarta (12/7).
Salah satu bentuk peralihan dari zona nyaman itu, kata Tri, adalah dengan menaikkan temperatur air conditioner (AC). Jika selama ini temperature berada pada kisaran 18 derajat Celsius, maka pada saat krisis cukup berada pada 25 derajat Celsius. Demikian juga lift yang tidak perlu digunakan sebaiknya dimatikan.
Menurut Tri, Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pengalihan hari kerja ke hari Sabtu dan Minggu, serta pemadaman listrik bergilir, sudah tepat dilakukan. "Semua pihak, termasuk pengusaha diminta untuk turut menanggung beban pemerintah," ujarnya.
Direktur PLN Jawa-Bali, Murtaqi mengatakan, para pengusaha telah menangkap spirit SKB. Walaupun mereka mengeluh lantaran akan menanggung kerugian, tapi mereka bisa menangkap spirit yakni membangun kebersamaan dalam krisis. Karena itu, ancaman bahwa pengusaha Jepang akan hengkang jika SKB diterapkan, tidak benar adanya. "Pengusaha Jepang tidak akan hengkang dari Jakarta. Mereka memang ingin tahu persis situasi listrik dan mencari tahu solusi yang diambil pemerintah," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto menyayangkan keluarnya SKB yang menurutnya terburu-buru. SKB misalnya, belum menegaskan apakah kerja pada hari Sabtu atau Minggu itu masuk kategori lembur atau tidak. Pengalihan jam kerja juga akan menimbulkan kerugian bagi pengusaha dan karena itu bisa dikenakan one-prestasi.
"Mestinya SKB jangan diteken sebelum semuanya rapih. Ini, SKB sudah diteken. Apa jaminan itu berhasil,"ujar Djimanto. Karena itu, ia berharap agar pemerintah kembali duduk bersama dengan kalangan pengusaha dan serikat pekerja sebelum keputusan itu benar-benar diberlakukan. Menurut Djimanto, pemerintah perlu memperhitungkan implikasi sekaligus mengantisipasi implikasi negatif yang ditimbulkan kebijakan tersebut.
Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian Agus Cahyana mengatakan, solusi yang diambil pemerintah merupakan jalan terbaik dalam situasi sulit ini. Pemerintah juga berusaha mengatasi konsekuensi atau implikasi kebijakan tersebut. "Kita harus mengurangi kenyamanan kita. Pemerintah melakukan kebijakan ini secara amanah. Dan pengusaha juga harus membantu itu," ujar Agus.
Salah satu upaya mengurangi kenyamanan yang saat ini telah dilakukan Departemen Perindustrian, kata Agus, adalah dengan menaikan temperatur AC pada 25 derajat Celsius. Demikian juga lift yang seluruhnya berjumlah 8 buah hanya dihidupkan dari pukul 08.00-09.00.
Sedangkan dari pukul 09.00 hingga pukul 15.30 hanya menggunakan 3 buah lift. Upaya ini, kata Agus, dapat mengurangi 30% beban listik di kantor tersebut. "Jika penghematan tersebut dilakukan oleh semua kantor swasta, maka krisis listrik dapat teratasi," ujarnya.
Very Herdiman