Jakarta, Kompas - Pengelolaan sumber daya energi dan pangan telah menjauhkan pemenuhan kebutuhan rakyat. Pengelolaan sumber daya energi seperti minyak, gas, dan batu bara malah berorientasi ekspor.
Seperti kasus terakhir, gas alam cair LNG Tangguh sudah dijual ke China sebelum berproduksi. Padahal, masyarakat dan industri dalam negeri dalam keadaan kekurangan suplai gas.
”Sejauh ini tidak ada politik energi untuk memenuhi kebutuhan rakyat,” kata Koordinator Eksekutif Nasional Walhi Berry N Furqon kepada wartawan di Jakarta, Rabu (3/9). Beberapa lembaga swadaya masyarakat menyikapi keterlibatan asing dalam penyusunan Undang-Undang (UU) Migas, antara lain Walhi, Jatam, Koalisi Anti Utang (KAU), Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Kontra Privatisasi (Alkatras), dan Lingkar Madani Indonesia (Lima).
Di sektor batu bara, 70 persen produk diekspor, 30 persen untuk di dalam negeri. ”Bandingkan dengan China, walau punya batu bara banyak, tetap mencari dari negara lain,” kata Koordinator Jatam Siti Maemunah.
Dikuasai asing
Semua pembicara menyatakan, salah satu akar persoalan ketidakmandirian energi primer dan sekunder di Indonesia adalah keterlibatan asing. Isi UU Migas memungkinkan keterlibatan asing dari hulu hingga hilir.
Korporasi asing boleh menguasai sumber energi hingga investasi di sektor hilir, seperti memiliki stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Bukti adanya keterlibatan asing sudah ada sejak mulai penyusunan UU.
Ray Rangkuti dari Lima mengatakan, keterlibatan asing dalam penyusunan UU tertentu, yang tak terkait kedaulatan bangsa, masih bisa dikompromikan. Namun, bila mengatur isi, mengubah ideologi, dan mengatur arah pengelolaan sumber daya, hal itu tidak boleh.
”Mengejutkan, Undang-Undang yang menentukan masa depan rakyat, seperti UU Migas, ternyata melibatkan asing demi pro-pasar dan antisubsidi,” katanya. Sekitar empat juta dollar AS dikucurkan USAID untuk reformasi sektor energi Indonesia.
Bersama Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, USAID mengeluarkan dana besar pembuatan draf UU Migas tahun 2000 dengan studinya. ”Studi itu merekomendasikan semangat kompetisi, berorientasi pasar, menghilangkan intervensi pemerintah, termasuk mengurangi subsidi,” kata Ketua KAU Dani Setiawan. Kenaikan harga BBM tak lepas dari liberalisasi tersebut.
Menurut Siti Maemunah, selama pemerintah tunduk total dengan kemauan asing, di baliknya ada kekuatan modal asing, kedaulatan energi dan pangan, tidak mungkin tercapai.
Hingga kini, selain UU Migas, UU Sumber Daya Air dan UU Penanaman Modal juga diduga. (GSA)
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar