Sabtu, 06 September 2008

Presiden Bentuk Tim Renegosiasi

Berpotensi Timbulkan Kerugian Rp 75 Triliun
KOMPAS/ALIF ICHWAN / Kompas Images
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (28/8). Sidang yang dihadiri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu tersebut membahas masalah ketahanan pangan dan energi serta pendidikan.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera membentuk tim yang kuat untuk melakukan renegosiasi harga jual gas alam Kontrak LNG Tangguh ke China. Tim ini akan dipimpin Menko Perekonomian yang dijabat oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Adapun Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla akan disertakan sebagai pengawas tim. Anggota tim lainnya terdiri atas pejabat departemen teknis.

Instruksi Presiden itu disampaikan saat mengawali Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Kamis (28/8) di Jakarta.

”Wapres akan menjadi supervisi atas jalannya kerja tim untuk membikin sasaran harga yang realistis dan melakukan benchmarking,” ujar Presiden.

Menurut Presiden, anggota tim yang dipilih jangan sampai memiliki konflik kepentingan dan sanggup bekerja sesuai sistem dan aturan. ”Jangan mengangkat orang di luar sistem,” tutur Presiden.

Presiden menambahkan, bila tim ini berhasil merenegosiasi dan pemerintah telah mengambil keputusan, sebagai Presiden, dirinya akan mengambil alih semua tanggung jawab. ”Khususnya jika ada masalah dari kebijakan atau substansi kontrak. Jadi, jangan ada keragu-raguan untuk memulai renegosiasi,” kata Presiden.

Lebih jauh, Presiden menambahkan, keputusan pemerintah melakukan renegosiasi harga jual gas alam Kontrak LNG Tangguh ke China diambil setelah pemerintah mendapat laporan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 14 Juni lalu.

Ketua BPK Anwar Nasution membenarkan adanya surat BPK yang meminta pemerintah mengoreksi kembali harga jual gas yang disepakati dalam Kontrak LNG Tangguh. Pasalnya, pemerintah akan menanggung rugi dalam kontrak penjualan yang ditandatangani pada 2002 itu.

Seperdelapan harga

Wapres Kalla yang diminta memberikan penjelasan setelah bertemu Wapres China XI Jinping di Beijing, China, pekan lalu, menyatakan bahwa kontrak penjualan gas yang dilakukan pada era Presiden Megawati Soekarnoputri itu dapat menimbulkan potensi kerugian negara hingga sebesar Rp 75 triliun.

”Dengan harga jual gas Tangguh hanya seperdelapan dari harga jual yang seharusnya pada harga sekarang ini, negara akan dirugikan sekitar 3 miliar dollar AS setahun. Kita kehilangan kesempatan pendapatan 3 miliar dollar AS setahun dan, kalau dikalikan 25 tahun, akan menjadi sekitar Rp 75 triliun,” papar Wapres.

Adapun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menegaskan, tidak ada yang salah dari Kontrak LNG Tangguh yang dilakukannya pada waktu itu. Pasalnya, kesepakatan harga ekspor gas Lapangan Tangguh ke China yang dinilai sangat murah sebenarnya sesuai dengan biaya eksplorasi lapangannya.

”Tangguh itu waktu diputuskan biayanya juga murah. Bayangkan saja, British Petroleum berani berinvestasi Rp 55 triliun. Kalau itu proyek rugi, mana mereka mau,” ujar Purnomo.

Sesuai harga minyak

Purnomo juga menambahkan, kesepakatan harga jual gas sebesar 3,8 dollar AS per MMBTU itu sudah sesuai dengan perhitungan harga minyak dunia yang diperkirakan hanya 25 dollar AS per barrel pada waktu itu.

”Harganya pakai formula juga. Cuma, harga minyak waktu itu berkisar antara 10 sampai 20 dollar per barrel. Jadi, hitungannya dipatok 25 dollar per barrel. Saat itu, kita tidak pernah tahu harga minyak melonjak,” katanya.

Diakui Purnomo, meski ada klausul untuk penyesuaian harga jual setelah empat tahun pengiriman gas, yang baru akan dilakukan tahun depan, Purnomo menyetujui agar pemerintah melakukan renegosiasi.

Purnomo juga menepis anggapan rendahnya harga jual gas Tangguh itu dapat merugikan negara karena kondisi waktu itu tidak bisa melihat perkembangan yang akan terjadi. ”Jadi, itu adalah dinamika perkembangan situasi. Antisipasinya pun sudah ada. Namun, kita tidak pernah dapat dari para analis bahwa harga berubah dan melonjak setinggi sekarang itu,” ujarnya. (har)

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: