Oleh Reny Sri Ayu Taslim
Saat tiba di Desa Balayon, Kecamatan Liang, Pulau Peling, Kabupaten Banggai Kepulauan, sore awal Agustus lalu, mendung menggantung di langit. Semilir angin berembus perlahan diiringi suara debur ombak. Desa Balayon memang berada di ketinggian dan di bawahnya berbatasan dengan pantai. Dari atas ketinggian, pandangan akan tertuju pada lautan lepas dan beberapa pulau di kejauhan.
Dari rumah-rumah warga, sayup-sayup terdengar suara nyanyian dari pemutar musik ataupun siaran televisi. Di bagian lain, anak-anak desa dengan riang berenang di sebuah kolam alam, tepat di dekat gerbang desa. Di ujung kolam, ada bangunan serupa gardu yang di dalamnya terdapat kincir yang terus berputar.
Kincir yang merupakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) ini sudah ada sejak 2007. Boleh dikata, keberadaan kincir ini mengubah hidup warga desa. Dari yang gelap gulita pada waktu malam, kini lebih meriah dan lebih terang karena adanya listrik.
Malam-malam warga desa kini adalah malam-malam yang lebih ramai, lebih terang. Ada pula acara nonton bareng, mulai dari siaran berita hingga hiburan.
”Dulu, begitu lepas magrib, desa ini sunyi, gelap. Pukul 20.00 sudah seperti tengah malam. Tidak ada lagi orang lalu lalang. Semua di dalam rumah,” kata Gaffar Kahar, Kepala Desa Balayon.
Bukan soal ramai tak ramai saja yang berubah sejak ada listrik di Balayon. Keberadaan listrik mengubah banyak hal, mulai dari aspek sosial, ekonomi, hingga pendidikan.
”Dulu sebelum ada listrik, suplai minyak tanah untuk Desa Balayon 240 liter per dua minggu. Setelah ada listrik, tinggal 80 liter per dua minggu, itu pun kadang tidak habis. Kalau dulu kan minyak tanah banyak dipakai untuk lampu minyak. Belum lagi bensin atau solar untuk genset,” kata Gaffar.
Lain lagi cerita Sudiro (56), warga desa setempat. Saat listrik belum masuk, setiap kali akan menonton tayangan bagus di televisi, ia harus berperahu sampan ke ibu kota kecamatan untuk meng-charge aki.
”Kalau sudah di-charge, saya bawa lagi aki ke desa dan dipakai untuk menghidupkan televisi yang ditonton warga ramai-ramai. Biasanya, acara belum selesai aki habis lagi dan saya terpaksa naik perahu lagi ke kecamatan untuk mengisi ulang,” kenang bapak tiga anak ini.
Menurut Gaffar, sejak ada listrik, lebih banyak warga desa yang menyekolahkan atau melanjutkan anak ke SMP bahkan SMA. ”Kalau dulu biaya minyak tanah untuk keperluan lampu minyak besar, sekarang dengan adanya listrik, selisih antara biaya minyak tanah dan iuran listrik lumayan, bisa buat bayar uang bulanan sekolah,” kata Gaffar.
Ini dibenarkan Sapia (50), warga Balayon. ”Kalau dulu untuk minyak tanah saja pengeluaran paling sedikit Rp 15.000 per bulan, sekarang cukup Rp 5.000 setiap bulan. Selisihnya bisa saya pakai untuk kebutuhan lain, tambah-tambah bayar uang sekolah,” kata ibu tiga anak ini.
Impian dari dulu
Pulau Peling adalah salah satu dari 342 pulau di Kabupaten Banggai Kepulauan. Bangkep sendiri adalah satu-satunya kabupaten maritim di Sulawesi Tengah. Salakan, ibu kota Kabupaten Bangkep yang berada di Pulau Peling, harus dijangkau dengan perjalanan laut menggunakan kapal motor selama lima jam dari Luwuk, Banggai. Luwuk adalah daratan di Sulteng, tempat menyeberang ke Pulau Peling, Pulau Banggai, dan beberapa pulau lainnya di Bangkep.
Hingga 2005 lalu, 60 tahun Indonesia merdeka, listrik memang sesuatu yang seperti mimpi di siang bolong bagi sebagian besar warga di Pulau Peling dan pulau-pulau sekitarnya. Tiang-tiang yang dibangun PLN di pulau ini antara tahun 1980 dan 1992, sebagian besar boleh dikata seperti perhiasan jalan saja. Sebagian malah rusak tidak terpakai.
Hingga warga lelah menanti, jaringan tak juga sampai ke rumah mereka. Bahkan, hingga kini di usia kemerdekaan RI yang ke-63, sebagian besar wilayah Pulau Peling yang berpenduduk sekitar 105.000 jiwa masih berpenerangan lampu minyak. Sebagian saja kecamatan, termasuk Salakan, yang terlayani listrik. Itu pun hanya enam jam sehari, yakni antara pukul 18.00 dan 24.00 Wita.
Kalau akhirnya pada 2007 warga Balayon bisa menikmati listrik, itu bukan karena PLN sudah melakukan tugas sebagai satu-satunya BUMN yang diberi hak melayani kebutuhan listrik masyarakat.
”Listrik di Balayon ada karena Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Kalau dulu Program Pengembangan Kecamatan. Saat itu, dari urun rembuk dengan warga disepakati bahwa listrik adalah hal yang paling dibutuhkan desa ini. Apalagi, potensinya ada, yakni mata air yang debitnya cukup untuk menggerakkan pembangkit sederhana, yakni kincir dan menghasilkan listrik,” ujar Gaffar.
Dengan biaya murah, sekitar Rp 182 juta, PLTMH dibangun. Saat ini dengan debit saat kemarau 200 liter per detik, pembangkit ini dapat menyuplai listrik 5 KVA. Dengan daya yang dihasilkan ini, setidaknya di setiap rumah terdapat dua bola lampu berkekuatan 18 watt. Ada pula yang empat bola lampu, bahkan untuk menyalakan televisi. Balayon berpenduduk 90 keluarga (347 jiwa).
Untuk rumah tangga miskin dengan minimal dua bola lampu, iuran pemeliharaan ditetapkan Rp 5.000 per bulan. Adapun yang menggunakan bola lampu lebih banyak atau yang menggunakan alat elektronik lain, pembayarannya Rp 15.000 per bulan. Dibandingkan dengan saat masih menggunakan penerangan lampu minyak atau genset, ini jelas jauh lebih murah.
Bukan hanya di Desa Balayon, pada tahun 2005 melalui program sama, warga Desa Mamulusan juga mengatasi masalah krisis listrik dengan PLTMH. Bertahun-tahun hidup berbalut gulita, saat ini setiap rumah sudah menikmati penerangan listrik kendati hanya 15 hari dalam sebulan.
”Untuk sementara karena keterbatasan alat, terpaksa kami bagi dua bagian dan masing-masing diselang-seling tiap satu malam. Jadi, masing-masing 15 hari. Rencana Kami mau menambah alat supaya dayanya lebih besar karena potensi air masih melimpah agar tidak giliran lagi,” kata Yafet, Ketua Tim Pemelihara Sarana PLTMH Mamulusan.
Karena program ini dinilai berhasil memecahkan masalah listrik, terutama di desa terpencil, pada tahun 2007 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri pedesaan membuat program serupa di Desa Nipa, Kecamatan Lamala, Kabupaten Banggai. Sama dengan di Mamulusan dan Balayon yang sudah dipasangi tiang listrik sejak 1980-an, tapi tak pernah menikmati listrik, Desa Nipa pun demikian.
”Saat PNPM masuk ke desa ini, masyarakat mengusulkan listrik. Kebetulan ada potensi air, program ini pun disetujui. Saat ini sudah uji coba dan berhasil. Tinggal memasang jaringan ke rumah penduduk, memasang travo, listrik sudah bisa dinikmati warga. Mudah-mudahan bisa segera terpasang,” kata Ishak Tintilo, Kepala Desa Nilo.
Pemberdayaan
PNPM Madani Pedesaan atau yang dulu Program Pengembangan Kecamatan dalam setiap programnya selalu melibatkan masyarakat dan menggali potensi yang ada. Intinya, mengatasi masalah dengan menyiasati keterbatasan.
”Makanya, setiap kali membuat program, kami serahkan kepada masyarakat. Mereka yang menentukan apa yang dibutuhkan, potensi apa yang mereka punyai. Mereka juga yang mengawasi pelaksanaan dan menjaga apa yang sudah dibuat. Kami hanya fasilitator,” kata Ikhwan Maulana, Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Spesialis untuk PNPM Mandiri Pedesaan.
Di banyak desa atau kecamatan yang menjadi tempat pelaksanaan berbagai program PNPM, listrik adalah salah satu yang paling sering diusulkan. Selain listrik, ada pula yang mengusulkan air bersih, penampungan air hujan, jembatan, hingga modal usaha.
Di Desa Hosan, Kecamatan Bulagi Selatan, potensi matahari dimanfaatkan warga untuk meminta bantuan pembangkit listrik tenaga surya yang juga jalan dan berhasil mengatasi masalah listrik.
Di Bangkep, sebagaimana dikatakan Bupati Bangkep Irianto Malinggong, listrik memang menjadi persoalan pelik.
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar