Senin, 04 Agustus 2008

Manajemen Energi Karut-Marut

EKSPLORASI Drilling
by : M. Yamin Panca Setia
Dikutip dari Harian Jurnal Nasional, Kamis, 24 April 2008

Harga minyak bumi yang terus melambung hingga hampir menyentuh US$120 per barel, membuat Indonesia harus pandai menghemat penggunaan energi. Edison Sirait, Ketua Komite Indonesia untuk Pengawasan dan Penghematan Energi (Kipper) mengatakan, sebenarnya sudah ada manajemen penghematan energi untuk mengurangi ketergantungan energi yang bersumber dari fosil. "Tapi, manajemen energi kita amburadul," ujarnya kepada Jurnal Nasional akhir pekan lalu di Jakarta.
Menurut dia, konsep manajemen penghematan energi yang diterapkan saat ini sangat lemah. Edison menunjuk ketidakjelasan data konsumsi bahan bakar minyak (BBM), baik subsidi maupun nonsubsidi, sebagai contoh. "Berapa sih konsumsi BBM di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten? Berapa sih konsumsi solar atau premium bersubdisi, dan yang nonsubsidi. Berapa banyak BBM yang bersubdisi, dan yang tidak bersubsidi yang dibeli pabrik atau industri. Pertamina tidak pernah menyajikan itu," katanya.
Dia juga menilai, asumsi anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBN-P), yang menetapkan US$94 per barel harus dievaluasi. Pasalnya, harga minyak dunia sangat fluktuatif. Kalau tidak diubah, pemerintah terpaksa harus terus menambah anggaran subsidi BBM termasuk untuk PT Perusahaan Listrik Negara, yang masih membutuhkan sekitar 9 juta kilo liter per tahun. "Itu nilainya sangat signifikan."
Pada 2007, realisasi total subsidi untuk BBM dan listrik membengkak sebesar Rp46,5 triliun ketika harga minyak mentah dunia menembus US$100 per barel. Subsidi listrik membengkak Rp13,9 triliun menjadi Rp43,3 triliun. Pembangkit milik perusahaan setrum negara ini masih banyak yang menggunakan BBM.
Hampir semua pembangkit listrik tenaga disel yang dioperasikan masih menggunakan solar (high speed diesel) yang harganya mencapai Rp8.000 per liter. Di banyak negara, pengoperasian pembangkit semacam ini sudah menggunakan marine fuel oil (MFO) yang harga hanya sekitar Rp4.000.
Adapun Direktur Energi, Migas, dan Pertambangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Montty Girianna mengatakan, lembaganya tengah mendorong agenda kesinambungan energi lewat swasembada minyak (self sufficiency of oil) dengan meningkatkan produksi (lifting), atau pun investasi.Ketergantungan pada BBM yang portofolio dalam konsumsi energi mencapai 54-60 persen juga akan dikurangi.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Rifky Ibrahim menilai, manajemen penghematan energi mutlak dilakukan. Alasannya, total realisasi subsidi energi 2007 mencapai Rp130,9 triliun, atau 17,4 persen dari total APBN, Rp754,2 triliun.Menurut dia, dulu sudah ada yang namanya kebijakan umum bidang energi. Namun, tidak ada UU yang mendukungnya. Akibatnya, birokrasi tidak dapat menjalankannya.
"Sekarang sudah ada UU Energi, sudah diratifikasi DPR, tetapi belum juga terbentuk koordinator yang katanya akan di bawah Presiden dan Wakil Presiden. Tapi, sampai sekarang belum ada," kata Rifki. Dia menilai, manajemen energi untuk menekan dampak negatif melonjaknya harga minyak tidak cukup hanya dilakukan dengan efisiensi penggunaan BBM. Namun, pemerintah harus serius merealisasikan diversifikasi energi terbarukan yang bersumber nonfosil seperti air, panas bumi dan nabati.
Sebenarnya, kata dia, sudah ada kebijakan, studi maupun kampanye pengembangan energi terbarukan. "Tapi, itu masih sebatas wacana saja," katanya. Sejumlah peraturan yang terkait dengan diversifikasi energi, kata Rifki, belum membumi. "Semua aturan dan UU yang dibuat tidak aplikatif."
Adapun Direktur Operasional PT Energi Manajemen Indonesia Yudianto mengungkapkan, Indonesia adalah negara yang paling boros energi di kawasan Asia. Survei yang dilakukan lembaganya menunjukkan, pemborosan energi tak hanya terjadi masyarakat, tapi juga untuk kelompok Industri. Tingkat pemborosan energi industri tekstil Indonesia mencapai 10-15 persen di atas industri tekstil di India dan Vietnam.
"Semua pihak perlu mengambil berbagai langkah efektif untuk menghentikan kebiasaan yang dinilai cenderung boros menggunakan energi dalam kehidupan sehari-hari," katanya.
M. Yamin Panca Setia

[Kembali]

Tidak ada komentar: